JAKARTA – Melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ternyata belum mampu mendorong perbaikan kinerja ekspor. Pada Juli 2015 total ekspor turun 15,5 persen dibanding Juni 2015 dan dan turun 19,2 persen dibanding periode sama tahun lalu.
”Memang masih sulit karena permintaan dari negara-negaa tujuan ekspor sedang melemah akibat kondisi ekonomi global,” ujar Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy kemarin (26/8)
Namun pemerintah akan terus berupaya mendongkrak ekspor agar Indonesia bisa memperoleh keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah saat ini. Untuk itu, Kemendag terus mencari pasar-pasar baru yang potensial sebagai target ekspor. ”Saya akan bicara dengan Menteri Perindustrian untuk dorong industri yang ekspornya kuat, kalau bisa produksinya ditingkatkan,” katanya.
Dia mengatakan, untuk memacu ekspor bukan solusi yang gampang. Aaplagi ditengah melemahnya perekonomian dunia seperti saat ini. Sebab pengusaha tekstil saat ini tidak mendapat keuntungan yang besar dari ekspor karena harus menutupi biaya produksi yang melambung tinggi. ”Sebenarnya (ekspor) itu bukan strategi jitu karena biaya impor bahan baku sedang naik juga, jadi impas,” tukasnya.
Ernovian menerangkan, industri tekstil dalam negeri harus mengimpor kapas dari 60 negara seperti Amerika Serikat dan Brasil. Ini karena produksi kapas dalam negeri tidak memenuhi kualitas dan kebutuhan industri lokal. Belum lagi bahan kimia tertentu yang hanya diproduksi oleh beberapa negara saja. ”Sekitar 60 persen biaya produksi hanya untuk membeli bahan baku, itu semua hampir semuanya impor,” sebutnya.
Dengan melemahnya rupiah harga bahan baku semakin melonjak tinggi karena industri tekstil nasional tidak mengimpor secara langsung dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan melalui jalur pihak ketiga seperti Singapura dan Malaysia. ”Jadi ketika impor dari Amerika Serikat barangnya harus ditaruh dulu di rekanan mereka di Malaysia atau Singapura baru kita impor sehingga harganya makin tinggi,” jelasnya.
Sementara itu, sistem tender dalam pengadaan pupuk, benih dan alsintan (alat dan mesin pertanian) dinilai kontraproduktif. Pengadaan terkait sektor pertanian tersebut berdasarkan Perpres Nomor 1/2014 lalu. Sehingga, Kementerian Pertanian pun proses pengadaan tersebut dilakukan dengan penunjukan langsung.