Keduanya adalah rekan Wregas di Komunitas Studio Batu, Jogjakarta. Komunitas yang dibentuk teman-teman SMA-nya tahun lalu tersebut menampung para seniman atau pekerja kreatif dari berbagai disiplin seni, mulai fim, musik, fotografi, sampai seni rupa.
Wregas yang sehari-hari bekerja di Miles Production meminta Yodi –sapaan akrab Yohanes Budyambara– mengenakan topeng tersebut sembari menari. Lantas, dia memadukannya dengan rekaman hujan abu yang mengguyur Jogjakarta pada pagi, 14 Februari 2014.
Malam sebelumnya, sekitar pukul 22.30, Gunung Kelud yang terletak di antara Kediri dan Blitar, Jawa Timur, meletus dan abunya terbawa angin sampai ke Kota Gudeg.
Lembusura pun menggabungkan footage hujan abu sebagai situasi sebenarnya dan footage tarian yang dibawakan Yodi sebagai visual realitas sehari-hari. Jadilah sebuah film eksperimental yang terinspirasi karya klasik Edwin S. Porter, The Life of an American Fireman (1903).
Mitologi Lembu Sura berkisah tentang seorang pemuda bernama sama berkepala lembu yang dikhianati seorang putri Kerajaan Majapahit, Dyah Ayu Pusparani. Pusparani merupakan putri Raja Brawijaya yang memerintah Majapahit pada abad ke-15.
Lembu Sura memenangi sayembara merentang busur Kyai Garudyeksa dan mengangkat gong Kyai Sekardelima yang diadakan untuk mencari suami buat Pusparani. Tapi, bukannya mereka menepati janji, Lembu Sura malah dikubur hidup-hidup di puncak Gunung Kelud saat membuatkan sumur dalam waktu semalam seperti yang diminta sang putri.
Dari dalam ’’kuburannya’’, Lembu Sura mengeluarkan kutukan yang intinya setiap dua windu sekali dia akan merusak seluruh wilayah Prabu Brawijaya. Karena itu, sampai kini, setiap Sura (salah satu bulan dalam kalender Jawa), warga sekitar Kelud mengadakan larung sesaji sebagai simbol Condro Sengkolo alias penolak bala.
Menurut Wregas, pesan besar dari Lembusura adalah cara orang Jawa menyikapi bencana. Bahwa musibah tak harus selalu ditangisi. ’’Waktu gempa Jogjakarta 2006, tetangga saya menjadikan rumahnya yang roboh sebagai guyonan (bercandaan, Red),’’ kata pria kelahiran Jogjakarta, 20 Oktober 1992, itu.
Sinema Jawa. Demikian Wregas menyebut benang merah karya-karyanya yang akan terus berusaha dipertahankannya. Itu merupakan bagian dari upaya dia memperkenalkan film dengan ’’identitas’’ Indonesia.