BANDUNG – Di Jawa Barat, peserta KB yang melakukan drop out (DO) terbilang tinggi. Saat ini, jumlah DO sekitar 70 persen peserta KB baik yang menggunakan alat kontrasepsi jangka pendek maupun yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP).
Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Jawa Barat (BKKBN) wilayah Jawa Barat Sugilar mengatakan, tingginya angka drop out ini sebetulnya sangat wajar. Pasalnya, alasan tidak lagi menggunakan alat kontrasepsi bisa disebabkan oleh beberapa faktor. ’’Dari aseptor tidak lagi ber-KB karena mereka berhenti memiliki anak, dan telah datang masa menopause,’’ jelas Sugilar ketika ditemui di acara Telah Program Kependudukan di Jalan Martadinata kemari (11/8).
Dia menyebutkan, selama enam bulan saja pihaknya mencatat 645 ribu orang menjadi akseptor MKJP. Namun, selama itu pula sekitar 533 ribu akseptor MKJP lainnya memutuskan untuk drop out. Sehingga lanjut dia, kondisi itu tentu harus diwaspadai. Termasuk ketersediaan alat kontrasepsi itu sendiri, yang diperparah dengan masih bermasalahnya penyediaan alat kontrasepsi jangka pendek. Kendati begitu, permasalahan itu bukan hanya terjadi di Jabar, namun juga di tingkat nasional
’’Strategi kita dalam pencapaian program KB, kita harus mampu mengarahkan masyarakat menggunakan MKJP. Kenapa? karena ketersediaan pil dan suntik yang bermasalah. Tapi kalau memang mau diarahkan ke pil dan suntik, arahkan masyarakat untuk mandiri (tidak bergantung pada alat kontrasepsi yang disediakan pemerintah),’’ bebernya.
Sugilar menyebutkan, di Jabar sendiri terdapat sekitar 7 juta pasangan usia subur dan 5 juta di antaranya menggunakan alat kontrasepsi pil dan suntik. ’’Makanya, mengarahkan untuk menggunakan MKJP menjadi solusi yang paling efektif di tengah-tengah ketersediaan alat kontrasepsi jangka pendek yang masih bermasalah,’’ ucap dia.
Menurutnya, saat ini MKJP memadai. Namun, berbanding terbalik dengan jumlah peserta aktif (PA). Seperti cakupan program KB yang cukup luas dengan jumlah penduduk Jabar yang banyak. Keberhasilan program KB tetap mengacu pada total fertility rate (TFR). Semakin kecil angka TFR, maka semakin berhasil program KB. ’’TFR bisa turun manakala kepesertaan atau CPR (contraceptive prevalence rate) naik stabil. Sebaliknya, jika CPR tak kunjung naik, maka sulit menurunkan TFR. CPR sendiri tidak akan naik bila PB (peserta baru) tidak naik,’’ pungkas Sugilar. (yan/far)