BATUNUNGGAL – Menjelang pergantian musim dari kemarau ke musim hujan, ancaman penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Kota Bandung cukup besar. Sebagai kota penyandang status endemis DBD, seharusnya kota Bandung lebih sigap. Untuk itu, DPRD Kota Bandung mengingatkan Dinas Kesehatan agar lebih sigap menghadapi hal tersebut.
Ketua Komisi D DPRD Kota Bandung Achmad Nugraha menyatakan, dalam mengantisipasi penyebaran penyakit DBD, tidak cukup dengan 3R. Namun, perlu program yang terencana. ’’Dinas Kesehatan jangan menunggu laporan korban, lalu bertindak. Melakukan pencegahan itu lebih baik,” ucap Amet-sapaan akrabnya.
Dirinya menjelaskan, sejauh ini, puskesmas yang ada di kota Bandung terkesan kaku dalam birokrasi. Masyarakat yang meminta bantuan fogging harus menunggu sebulan hingga dua bulan. Birokrasi semacam itu mesti dipangkas.
Oleh karenanya, dalam menangani masyarakat yang terserang penyakit DBD, sudah waktunya Dinkes memerintahkan seluruh rumah sakit tidak memungut biaya perawatan alias gratis. Apalagi, yang terserang penyakit DB itu warga miskin.
Pada prinsipnya, seluruh rumah sakit tidak hanya melayani pemegang BPJS, tetapi juga seluruh warga miskin yang terserang DBD. ’’Melayani pasien DBD cukup ditandatangani keluarga korban dengan melampirkan KK dan KTP dan itu berlaku di luar pemilik SKTM,” papar Amet.
Dirinya mengatakan hal ini karena melihat seringnya pasien warga miskin dipersulit tagihan rumah sakit. Kenyataan itu diakibatkan Pemerintah Kota Bandung tidak pernah mengajukan anggaran buffer stock untuk DBD.
Memang ada buffer stock SKTM sebesar Rp 10 miliar per tahun, tetapi ini tidak cukup hanya di anggaran murni. ’’Guna mengantisipasi DBD, sebaiknya anggaran itu diajukan pula di APBD Perubahan,” tegas Amet. (edy/vil)