Ini tidak mudah. Persyaratannya banyak. Tintanya harus ada. Penanya harus ada. Kertasnya harus ada. Yang pegang pena juga harus punya kemampuan memegang pena. Semuanya akan teratasi kalau ada keyakinan mampu mengatasinya.
Banyak ekonom yang masih memegang teori lama ini: Biarkan rupiah melemah. Itu ada baiknya. Ekspor kita akan melonjak. Teori itu benar. Pada masanya.
Tapi, para pengusaha yang sehari-hari bergerak di bidang ekspor bisa menemukan kenyataan lain. Pembeli di luar negeri bukan pedagang yang bodoh. Mereka tahu bahwa rupiah lagi melemah. Berarti eksporter Indonesia ambil untung terlalu banyak. Mereka juga berhitung. Lalu minta harga diturunkan.
Dari pengalaman itu, kita jadi tahu bahwa teori ”rupiah melemah, ekspor akan meningkat” tersebut kini hanya berlaku sebagian. Kita hanya bisa melihat dan mengamati. Apakah dalam waktu tiga bulan ke depan huruf ”I” itu sudah akan mulai berubah menjadi ”L”? Atau ”I”-nya masih akan lebih panjang?
Teori-teori yang kelihatannya nonekonomi kini juga sudah diakui menjadi bagian dari teori ekonomi. Misalnya trust. Kepercayaan. Tidak adanya trust sudah bisa mengganggu ekonomi. Misalnya lagi ”persepsi”. Kelihatannya kata itu jauh dari teori ekonomi. Tapi, persepsi bahwa kita akan mampu atau tidak akan mampu juga berpengaruh pada ekonomi.
Misalnya lagi signal atau conflicting signal. Tidak satunya kata dan perbuatan. Tidak satunya kata seseorang dengan orang yang lain. Kelihatannya itu bukan teori ekonomi, tapi sudah akan langsung berpengaruh pada ekonomi. Dan banyak lagi.
Lalu, di mana hope-nya? Tetap ada.
Indonesia sebenarnya tidak mudah jatuh. Negeri ini sudah terlalu besar untuk mudah jatuh atau dijatuhkan begitu saja. Secara ekonomi, Indonesia juga telanjur besar. Dalam kata-kata singkat, sebenarnya Indonesia ini sudah termasuk too big to fail.
Tapi, bukan berarti kita boleh bersikap sembrono. Atau menganggap persoalan kelesuan ini hanya remeh-temeh. (*)