Pasalnya, masyarakat menganggap dugaan korupsi oleh Kejagung terhadap mantan orang nomor satu di Indramayu itu, bertolak belakang dengan fakta pembangunan PLTU Sumuradem.
Oleh karenanya, Yance menyatakan, perkara korupsi yang menjeratnya adalah sebagai settingan lawan politiknya. Pasalnya, saat itu lawan poltiknya berasal dari satu partai. Dirinya menduduki jabatan penting sedangkan lawan politiknya gagal. Hal itu menjadi pemicu untuk memprakarsai penjegalan Yance. ’’Saya maafkan orang orang yang mendzolimi saya,’’ tegas Yance.
Dia menuturkan, kasus yang terjadi saat ini, bukan permasalahan melawan hukum. Sebab, kekuasaan politik menjadi sebab utama dirinya duduk di kursi pesakitan. ’’Tak sebersitpun terlintas dalam benak saya mengambil keuntungan dalam pembebasan lahan ini. Yang saya yakini dan jalani saat itu ialah sebagai bentuk pengabdian kepada negara,’’ imbuhnya.
Yance bersikukuh masih tidak memahami apa maksudnya jaksa menuding dia melakukan tindak pidana korupsi. ’’Saya keberatan apabila disebutkan tidak koperatif hukum. Semua saya paparkan dan jelaskan atas perkara itu,’’ sahutnya.
Pada Senin (11/5), JPU menilai Yance bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa menuntut hukuman 1,5 tahun serta denda Rp 200 juta.
Yance diduga melakukan mark-up harga pembebasan lahan pembangunan PLTU Batubara Jabar Utara sebesar Rp 5,3 miliar. Harga tanah yang seharusnya dijual sebesar Rp 22 ribu setiap meter persegi, dilipatgandakan menjadi Rp 42 ribu per meter persegi.
Atas dasar itu, Yance dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain. Yakni, Agung Rijoto selaku penerima pelepasan hak atas anama PT Wiharta Karya Agung serta Almond Kurniawan Budiman selaku pemilik HGU. (vil/hen)