Jokowi juga menyoroti lembaga keuangan global seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB yang masih memerintah kebijakan ekonomi dunia. ’’Ketidakadilan global terasa ketika sekelompok negara enggan mengakui realita dunia yg telah berubah. Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF dan ADB adalah pandangan usang yang perlu dibuang,’’ tegasnya.
Hal tersebut pun disetujui delegasi dari benua Afrika. Presiden Zimbabwe yang juga selaku ketua African Union (AU) Robert Mugabe. Pria yang menjadi co-chariman sesi I KTT dengan Jokowi menyatakan bahwa PBB adalah organisasi yang mau menang sendiri. Pasalnya, PBB jarang menanggapi pendapat dari negara-negara Afrika dan Asia.
’’Mereka mendahulukan suara dari negara-negara anggota permanen Dewan Keamanan PBB. Padahal, tak ada perwakilan Afrika disana. Jadi, kita harus memperkuat barisan agar PBB melihat semua anggotanya dengan setara,’’ ungkapnya.
Pada kesempatan tersebut, kepala negara yang diberi kesempatan untuk menyampaikan pernyataan di podium pun ikut urun suara mendukung inisiatif tersebut. Tak terkecuali, Ketua Presidium Korea Utara Kim Yong Nam. Dia secara tak langsung menegaskan bahwa kekuasaan PBB digunakan semena-mena oleh anggota penguasa sebagai alat mengintervensi urusan dalam negeri.
’’Sesuai Dasasila Bandung, kerja sama berdasarkan kedautalan negar a masing-masing. Kami sendiri keberatan dengan upaya aggresi yang mengganggu kedaulatan kami. Seperti Amerika Serikat yang sebenarnya negara pelanggar HAM terbesar. Saat ini kan mereka memiliki proyek nuklir terbesar,’’ terangnya.
Tak hanya negara berkembang, negara maju yang menjadi peserta KAA pun ikut mendukung. Hal tersebut terungkap usai pertemuan Bilateral antara Jokowi dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Menurut lansiran situs resmi Sekretariat Kabinet, Abe secara personal mendukung inisiatif Jokowi untuk mereformasi PBB.
Dalam pidatonya saat KTT pun, Abe menyatakan bahwa Asia Afrika harus menjadi garda depan sebagai promotor perdamaian dunia. Menurutnya, banyak negara di Asia dan Afrika yang dulu menjadi penerima bantuan sudah berubah status menjadi rekanan ekonomi. ’’Kita harus membangun pasar yang terbuka dan dinamis. Pertumbuhan di Asia dan Afrika tak boleh jadi sekedar hal yang fana,’’ terangnya.