Referensi ini menjelaskan, betapapun ada keterwakilan, perempuan masih sulit berkontribusi. Advokasi politisi perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya terbentur dinding tebal sistem politik yang terus berubah-ubah. Kendati demikian, mesti kecil tapi masih terasa. ’’Perempuan terasa kecil peran politiknya, tapi gemanya terdengar di mana-mana,” imbuh dia.
Membicarakan perempuan memang tidak akan ada habisnya, tapi yang sering terlupakan ada sisi tabu. Perempuan seolah harus manut dan berdiri sebagai hiasan laki-laki. Yang penonjol di kita orang Jawa Barat (Sunda), terbiasa menempatkan kaum Adam memiliki derajat lebih tinggi. Sehingga persoalan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), menjadi luput dari pantauan. ’’Di Kota Bandung, yang terlaporkan jumlahnya tidak terlalu tinggi,’’ ungkap Nunung.
Artinya masyarakat belum melek terlebih perempuan. Padahal kekerasan itu bisa dilakukan oleh laki-laki atau sesama perempuan. Peristiwa kekerasan terkadang disikapi sebagai perbuatan yang wajar. Yang rada memahamipun serba ripuh kemana harus melapor, harus berbuat apa. Kondisi tersebut menjadi sebuah tantangan. ’’Pemerintah, khususnya BPPKB bertanggungjawab dan dituntut semakin gencar mensosialisasikan hak-hak perempuan itu,’’ tegasnya.
Terjadi kekerasan terhadap perempuan sebenarnya bisa melaporkan bukan hanya pada BPPKB atau P2TP2A. Tetapi, tandas Nunung, bisa melaporkan setiap tindak kekerasan pada perempuan ke unit UUPPA di Polrestabes setempat. Atau bisa juga ke LSM yang bergerak di ranah perempuan, Puskesmas, dan rumah sakit.
BPPKB sendiri bersinergi dengan beberapa SKPD, stake holder, ataupun dengan lingkungan masyarakat. Bahkan, belum lama ini ada kesepakatan dengan Brigadir RW. (ed/tam)