Hanya Sekali Giling
INDONESIA terkenal dengan kekayaan agrarianya. Hal ini tak heran, sebab nasi merupakan makanan pokok warga Indonesia. Namun, belakangan ini harga beras jadi obrolan hangat karena terus naik. Akibatnya, pemerintah di masing-masing daerah menggelar program Operasi Pasar Murah (OPM) untuk menekan harga beras.
Lalu, darimana asal beras-beras itu? Apakah kualitasnya memang buruk? Mengapa disebut beras miskin (raskin)?
Hal ini dirasa ironi. Sebab, Indonesia negara yang tersohor dengan hasil pertaniannya. Namun, kini beras saja harus impor.
Kepala Staf Keuangan dan Satuan Tugas Raskin Bulog sub Kota Bandung Teti Wahdyawati mengatakan, raskin adalah beras jenis medium. Kualitas dan tampilan memang berbeda dengan beras medium yang dijual di pasara. Meski begitu, raskin merupakan jenis beras kategori baik. Hanya saja proses pengolahannya tidak dilakukan seperti pada beras-beras medium lain.
Dia mengatakan, pada umumnya ada tiga tahapan pengolahan beras. Namun, karena biaya pengolahan yang diberikan pemerintah tidak memadai untuk mengolah beras secara sempurna, maka anggaran pengolahan dipotong. Dan beras diolah seadanya. Dia menjelaskan, raskin berjenis medium atau IR (Setra Ramos). Pasokan untuk Kota Bandung berasal dari Indramayu, Pantura, Karawang. Hanya pengolahannya saja yang berbeda.
’’Kalau beras umum diolah dengan tiga tahapan. Kalau raskin hanya satu penggilingan,’’ kata dia kepada Bandung Ekspres, belum lama ini.
Berdasarkan Keputusan Presiden soal raskin, pemerintah menganggarkan Rp 6. 800 per kilogram. Biaya tersebut sudah termasuk biaya angkut beras, distribusi, bongkar muat, penggilingan hingga biaya perawatan gudang. Namun, dana itu tidak menutupi tahapan pengolahan beras secara keseluruhan. Maka dari itu, raskin hanya diolah dengan satu tahapan untuk menutupi kekurangan di bagian lain.
Raskin yang dijual Bulog saat ini seharga Rp 1. 600 per kilogram. Sedangkan, untuk beras jenis medium harganya ada di kisaran Rp 7.400. Menurut Teti, apabila masyarakat miskin membeli beras dengan harga normal, mereka tidak bisa beli lauk pauk. ’’Mereka lebih memilih raskin, karena perbedaan harga itu mereka bisa mencukupi kebutuhan yang ada,’’ ucapnya.