’’Saya memakai tolok ukur yang paling mendasar bagi semua parpol, yaitu perolehan suara dalam pemilu legislatif. Jika perolehan suara naik, kader-kader PAN tentu lebih berpeluang menjadi anggota DPR atau DPRD,” kata Dradjad melalui layanan pesan instan ke JPNN, kemarin (22/2).
Lebih lanjut politikus berlatar belakang ekonom itu merinci perolehan PAN dari pemilu ke pemilu pasca-reformasi. Pada Pemilu 1999, PAN yang saat itu dipimpin Amien Rais meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen dari suara sah nasional.
Sedangkan, pada Pemilu 2004, perolehan suara PAN justru merosot menjadi 7.303.324 suara atau 6,44 persen dari suara sah nasional. Saat itu PAN juga masih dipimpin Amien Rais yang juga Ketua MPR RI periode 1999-2004.
Merosotnya suara PAN terulang lagi pada Pemilu 2009. Di bawah kepemimpinan Soetrisno Bachir, kala itu PAN hanya meraih 6.254.580 juta atau 6,01 persen. Sedangkan, pada Pemilu 2014 saat PAN dipimpin Hatta Rajasa, partai yang kelahirannya dibidani oleh Majelis Amanat Rakyat itu meraih 9.481.621 suara atau 7.59 dari total suara sah nasional. ’’Ini adalah perolehan suara tertinggi dalam sejarah PAN, baik dari jumlah maupun persentase suara,” ucap Dradjad.
Menurutnya, fakta-fakta itu menjadi bukti tentang para ketua umum PAN yang menghasilkan suara tertinggi maupun terendah. Dradjad menambahkan, perolehan suara PAN dari pemilu ke pemilu itu perlu menjadi bahan evaluasi dalam kongres di Bali akhir bulan ini.’’Fakta-fakta itu membuktikan siapa yang menghasilkan suara tertinggi dan siapa yang terendah. Perlu diingat, membalik tren yang menurun itu memerlukan energi yang jauh lebih besar dibanding melanjutkan tren yang naik,” pungkas anggota DPR periode 2004-2009 itu. (ara/jpnn/rie)