Tapi penonton mulai memujinya. Sambil berharap cemas. Dari gol itu diharap terjadi pembalikan “kepercayaan diri” nya. Harapan yang tidak mengecewakan.
Kurang seminggu kemudian, “kepercayaan diri” Balotelli itu benar-benar kembali terlihat. Yakni saat dia diturunkan untuk menggantikan Lallana di akhir pertandingan Liga Eropa melawan Besiktas kemarin subuh.
Dalam pertandingan home itu saya seperti melihat “balotelli baru”. Atau “setengah baru”. Pergerakan-pergerakannya taktis. Umpan-umpannya mengesankan. Pengambilan posisi tanpa bolanya juga tak terbaca.
Dia tampak begitu kecewa ketika mesin gol Sturridge memaksakan diri menendang bola ke gawang lawan dari sudut yang sulit. Tidak terjadi gol. Padahal Balotelli sudah menempatkan diri di lapangan kosong dekat gawang.
Balotelli juga terlihat percaya diri ketika dirinya merasa paling berhak melakukan tendangan bebas di luar kotak penalti di menit berikutnya. Dia sudah mengambil posisi akan mengambil tendangan. Tapi Sturridge yang melakukannya. Tidak terjadi gol.
Rupanya Balotelli benar-benar ingin mendapat kepercayaan. “Percayailah saya”, rasanya itu yang ingin dia ucapkan dengan keras sambil diam.
Maka drama pun terjadi. Di akhir pertandingan, saat kedudukan masih 0-0, Jordon Ibe dijatuhkan di kotak terlarang. Liverpool dapat penalti. Sturridge mengambil bola. Dia seperti merasa yang paling berhak melakukan tendangan penalti. Dialah yang punya taktik dijatuhkan. Dia pula yang dikenal sebagai mesin gol Liverpool.
Jordan Henderson, kapten Liverpool (kapten Gerrard lagi absen) juga bergerombol di situ. Henderson juga seperti merasa paling berhak melakukan tendangan itu. Dia memang kapten yang berhak menentukan siapa yang harus bertugas di lapangan.
Tapi Balotelli seperti tidak peduli dengan semua itu. Cepat-cepat dia ambil bola. Dia rengkuh kuat bola itu di dadanya seperti tidak ingin ada orang lain merebutnya. Dia pun mendatangi Henderson dan menepuk bahu sang kapten.
Tepukan itu seperti berisi kata-kata ultimatum: “aku yang akan mengambil tendangan penalti ini”.
Henderson pun tertegun seperti tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Saat itu seperti terjadi kevakuman psikologis sesaat.
“Kevakuman” itulah yang dimanfaatkan Balotelli. Sambil tetap merengkuh bola dia melangkah menuju titik penalti. Dia letakkan bola dengan mantap di titik putih. Teman-temannya melihat itu seperti sambil termangu. Atau bahkan meragukan kemampuannya.