Kegiatan ini menyita perhatian warga Bandung. Pasalnya, pada pukul 16.00–17.00, merupakan jam padat lalu lintas. Sehingga, banyak warga yang singgah menyaksikan teatrikal tersebut.
Menurut Wanggi, langkahnya ini merupakan medium penyadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, menjadi salah satu cara untuk memperjuangkan pelanggaran HAM yang penyelesaian tidak pernah tuntas.
Selain itu, sewindu aksi kamisan digelar menjadi momentum untuk menagih janji Presiden Joko Widodo. Yakni, penuntasan permasalahan HAM yang kian terlupakan. ”Kami meminta untuk segera diusut,” teriaknya.
Aksi kamisan ini juga terinspirasi dari kegiatan serupa. Yakni, aksi penuntutan terhadap penyelesaian HAM di Argentina. Dilakukan oleh ibu-ibu korban kediktatoran rezim junta militer pada 1976 sampai 1983. Dikenal dengan sebutan Las Madres de Plaza De Mayo (The Mother of Plaza de Mayo).
Sementara, di Jakarta sebagai upaya dan perjuangan yang sama. Orang tua yang berusia 60 sampai 80 tahun berdiri dan diam dengan melakukan aksi. Dengan payung hitam yang dipegang bertuliskan protes serta kritik terhadap nasib korban HAM.
Payung hitam dijadikan sebagai maskot dalam setiap aksinya. Aksi kamisan ini merupakan upaya untuk bertahan dalam memperjuangkan mengungkap kebenaran, mencari keadilan, dan melawan lupa. Bahkan, setiap hari Kamis juga selalu dikirimkan surat terbuka kepada Presiden.
Aksi kamisan yang rutin dilakukan menjadi dorongan besar terhadap korban dan keluarga atas permasalahan HAM. Termasuk, mendorong pemerintah untuk mengusut permasalahan-permasalahan yang selalu tidak jelas. Akhirnya, melalui aksi ini, mereka selalu berteriak ’melawan lupa’. (ant/mg2/tam)