Serapan Program OPOP di Bawah 50%

BANDUNG – Berdasarkan hasil evaluasi Komisi II DPRD Jabar Program One Pesantren One Product (OPOP) memiliki nilai serapan sangat rendah. Bahkan, penerima program itu tidak sesuai dengan tupoksi Dinas Koprasi dan Usaha Kecil (KUK) Provinsi Jawa Barat. Hal itu disampaikan ketika Fraksi PDIP menyampaikan pandangan umum fraksi tentang Raperda APBD 2020 pada Rapat Paripurna pada tanggal 1 November 2019 lalu.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Fraksi PDIP, R Yunandar Rukhiadi Eka Perwira mengatakan, sampai per-bulan Oktober itu datanya menunjukkan serapan anggaran untuk semua itu baru 54 persen itu sangat rendah sekali dari bulan oktober. Sehingga 54 persen dari bulan Oktober itu diperkirakan di akhir Desember hanya sampai 70 persen maksimal.

Dia mengatakan, sebenarnya legislatif sudah menghitung ba­hwa OPD-OPD hanya akan mampu belanja sampai 85 per­sen diakhir Desember nanti. Hal ini berdasarkan estimasi Sisang Pengguna Anggaran (Silpa) yang akan mencapai 4,5 triliun.

‘’Nah OPOP itu salah satu buktinya, sebagai salah satu contoh yang kita angkat bahwa ini satu program yang di tahun 2019 itu tidak akan diserap dengan baik, karena sampai bulan Oktober itu baru 30 persen bayangkan rata-rata 50 persen. Ini baru 30 persen,” kata Yunandar saat dihubungi Jabar Ekspres, Minggu (17/11).

Politisi PDIP ini menilai, ber­dasarkan hasil evaluasi ada se­suatu secara teknis tidak tepat atau bahkan salah. Sebab, tu­juan program ini adalah bagai­mana meningkatkan kemandi­rian dan kesejahteraan pesantren. Akan tetapi yang diselenggarakan adalah kegiatan perlombaan antar pesantren untuk mencip­takan sebuah produk.

Dia menuturkan, program OPOP menutut pesantren memiliki prodak. Padahal pesantren adalah lembaga pendidikan. Sehingga lulusan pesantren itu seperti dipaksa untuk mengahasilkan produk barang atau jasa.

‘’Nah sekarang didorong un­tuk maju menciptakan prodak berupa prodak barang atau jasa yang konsumtif, sebenar­nya itu bukan tugas dari pe­santren begitu akan tetapi tugas Badan Usaha,’’kata dia.

“Jadi ketika pesantren dido­rong untuk menjadi badan usaha lain selain badan usa­ha pendidikan saya kira tidak tepat apa lagi bentuknya per­lombaan,” tambah Yunandar.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan