Mantan Napi Korupsi Tak Perlu Dimasukkan

JAKARTA – Fraksi Partai Golkar DPR RI setuju UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada direvisi. Namun, larangan eks narapidana korupsi ikut pilkada tidak perlu dimasukkan. Alasannya, aturan itu diperbolehkan melalui putusan MK (Mahkamah Konstitusi), bukan DPR sebagai pembuat UU.

“Kalau mau melarang eks napi korupsi mencalonkan diri dalam Pilkada, memang harus melalui UU. Tetapi, untuk apa. Itu kan diperbolehkan atas lewat putusan MK,” ujar anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, di Jakarta, Selasa (26/11).

Menurutnya, sejak awal DPR sebagai pembuat UU tidak memperbolehkan mantan napi korupsi maju Pilkada. Namun, putusan MK justru memperbolehkan. Asal mengumumkan statusnya kepada publik.

Dia mengingatkan Pasal 28 UUD 1945 mengatakan pembatasan hak seseorang hanya boleh diatur berdasarkan UU.

“Di UU Pilkada saat ini berdasarkan Putusan MK, tinggal mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan napi kasus korupsi,” paparnya.

Zulfikar menyebut, partainya mengusulkan dua poin dalam revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pertama penguatan fungsi pengawasan dan penindakan Pilkada yang ada di Bawaslu kabupaten/kota. Dalam UU Pilkada, fungsi tersebut dijalankan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Tetapi dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu tidak memiliki kewenangan tersebut.

“Ini harus direvisi UU Pilkada agar pengawas Pilkada di kabupaten/kota adalah Bawaslu kabupaten/kota. Karena di UU Pemilu,” imbuhnya.

Kedua, dalam UU Pilkada dinyatakan penggunaan suket (Surat Keterangan) paling lambat tahun 2018. Namun sampai saat ini masih banyak KTP Elektronik belum terpenuhi 100 persen. Suket, lanjutnya, harus dipastikan bisa digunakan. Agar tidak menjadi persoalan ke kemudian hari. Terutama untuk seorang memilih dan syarat dukungan calon perseorangan.

menginginkan agar revisi UU Pilkada bisa digunakan dalam Pilkada 2020. Tujuannya agar ada kepastian Bawaslu dalam kerja mengawasi jalannya Pilkada.

Menanggapi hal itu, Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting Manik mengatakan pelarangan mantan koruptor maju dalam Pilkada 2020 karena belajar dari kasus di Tulungagung dan Kudus.

“Kasus di Kudus, mantan napi koruptor kemudian terpilih dan tertangkap lagi. Apalagi yang di Tulungagung. Orangnya masih dalam penjara. Tetapi dia terpilih dan menang. Kemudian yang menjalankan tugas sebagai kepala daerah bukan dia,” kata Evi di Jakarta, Senin (25/11).

Tinggalkan Balasan