BANDUNG – Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat mencatat selama 2019, 7.400 perusahaan pengguna air tanah di Jabar.
Dari jumlah tersebut 1.625 di antaranya diidentifikasi habis masa berlaku izinnya maupun belum mengantongi izin.
Sisanya sekitar 6.000 pengguna air tanah mengantongi izin sekaligus merupakan wajib pajak air tanah.
Kendati begitu, dari 7.400 pengguna air tanah pihak ESDM Jabar hanya melakukan pembinaan pengawasan saja.
‘’Jumlah itu yang baru teridentifikasi 1.625 tidak punya izin termasuk yang habis masa berlaku izinnya. Sisanya masih diidentifikasi kan masa berlaku izinnya,” kata Kepala Dinas ESDM Jabar, Bambang Tirtoyuliono kepada Jabar Ekspres saat ditemui di ruang kerjanya, Bandung, Selasa (3/12).
Dia menuturkan, untuk melakukan pendataan pengambilan air tanah pihaknya bekerjasama Bapenda Kota/Kabupaten untuk melakukan inventarisasi serta mendorong perusahaan komersial melakukan pengurusan perizinan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Bambang mengatakan, banyaknya air tanah yang diambil di wilayah Bandung Raya mengakibatkan daerah Cekungan Bandung mengalami krisis air tanah. Terlebih, kawasan daerah resapan air banyak sudah beralih fungsi.
Dia menuturkan, biasanya perusahaan dalam mengambil air tanah dengan menggunakan sistem sumur pantek atau sumur air tanah dangkal dengan ke dalaman 40 meter.
‘’Untuk perusahaan besar ada juga yang menggunakan akuifer tanah dalam yang kedalamannya sampai dengan 150 meter,” ujar Bambang.
Bambang menyebutkan, sampai saat ini terdapat 194 sumur pantek di Cekungan Bandung dan 392 sumur dalam hal ini digubnakan untuk pengelolaan manfaatnya.
‘’Selain dimanfaatkan, konsep besarnya kita melakukan konservasi,” cetus dia.
Bambang mengungkapkan, dalam proses perizinan pembuatan air tanah secara teknis Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) akan mengeluarkan rekomendasi izin yang salah-satu poinnya kepastian tentang ketersediaan air permukaan
Akan tetapi, jika tidak tersedia akan tetap dipertimbangkan untuk diterbitkan izin. Namun, untuk responsibility kepada masyarakat sekitar harus jadi pertimbangan.
‘’Aspek tata ruang dan lingkungan, baru kita berikan pertimbangan teknis. Intinya kita mengedepankan aspek konservasi,” pungkas Bambang.
Sementara itu, Kepala Seksi Konservasi Air, Tanah dan Hayati, DLHK Kota Bandung Salman Faruq mengungkapkan saat ini kondisi air tanah dalam keadaan kritis.
Setiap tahunnya, kata dia, terjadi penurunan muka air tanah 60 sampai 80 persen.
“Info dari ESDM kritis. Di Jabar ini kan banyak CAT (cekungan air tanah). Kita merupakan tiga yang kritis, salah satunya CAT Bandung-Soreang tadi. Indikatornya itu penurunan muka air tanah setiap tahun mencapai 60-80 persen,” katanya, usai menghadiri Bandung Menjawab, di Kota Bandung, Selasa (3/12).
Berdasarkan kajian yang dilakukan pada 2017 lalu, terdapat lebih dari 12 kecamatan di Kota Bandung kondisi air tanahnya dalam keadaan kritis. Di antaranya Kecamatan Andir, Sukajadi dan kecamatan lainnya.
“Pihak ESDM kajian 2017 dan kami sudah ada report. Mungkin sudah tidak 12 kecamatan lagi (kondisi air tanah kritis), sekarang lebih,” ucapnya.
Menurut dia, penurunan muka air tanah di Kota Bandung disebabkan banyak hal. Salah satunya eksploitasi penggunaan air tanah secara masih baik dilakukan oleh pelaku usaha dan masyarakat.
“Penyebabnya penggunaan air tanah masif. Pelayanan PDAM masih rendah masyarakat untuk butuh air, mereka gali sumur. Pelaku usaha juga mempengaruhi,” ucapnya.
Demi mengatasi permasalahan yang ada, dia mengaku, DLHK telah menyiapkan berbagai langkah. Mulai dari pembangunan sumur resapan dalam hingga upaya lainnya agar kelestarian air tanah bisa tetap terjaga.
“Kita pertahun buat 7-10 sumur resapan dalam. Anggaran sekitar Rp400 juta,” ucapnya.
Selain itu, pihaknya juga telah mengeluarkan surat edaran agar para pelaku usaha bisa ikut membantu menjaga kelestarian air tanah. Salah satunya ikut mendukung gerakan Rain Water Harvesting (Memanen Air Hujan).
“Mudah-mudahan ini langkah awal untuk pelaku usaha menerapkan Rain Water Harvesting tadi. Nanti ke depan akan coba kaji apa dimungkinkan diterbitkan Perwal atau Perda yang bisa lebih memaksa pelaku usaha tidak hanya mengandalkan air tanah saja,” ujarnya. (mg1/yan)