Refleksi Menyambut Tahun Baru 2018

Buruknya prediksi serta antisipasi terhadap fenomena alam yang beriringan dengan data-data hasil kinerja pemerintah dalam bidang ekonomi, sepertinya menunjukan kalau tahun 2017 betul-betul tahun suram bagi perekonomian kita. Bencana berkepanjangan di berbagai wilayah tidak hanya akan berdampak pada ekonomi masyarakat setempat tetapi juga ekonomi nasional sehingga pemasukan negara pun akan tersendat. Cuaca ekstrem di pusat-pusat produksi pangan di Jawa, tentu akan berimbas pada produksi beras. Pada akhirnya harga beras naik, memicu inflasi, jumlah warga miskin meningkat dan mengganggu keseimbangan moneter.

Begitu juga bila kita melihat data-data capaian pemerintah. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 diperkirakan hanya akan berada di angka 5,05%. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang berada di angka 5,02%, angka ini bisa dikatakan stagnan.

Sepanjang 2017 pun pemerintah berulangkali merevisi target pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena konsumsi rumah tangga yang jadi motor perekonomian, hanya mencapai angka 56% terhadap PDB. Tumbuh dibawah ekspektasi. Tutupnya beberapa ritel dan kecenderungan masyarakat menahan belanja dan mengalihkan uangnya ke simpananan perbankan menjadi pertanda konsumsi memang sedang mengalami tekanan.

APBN yang diharapkan menjadi trigger pertumbuhan ekonomi nasional, juga ternyata bermasalah. Tidak hanya karena kualitas belanja Kementrian dan Lembaga, tetapi juga setoran pajak yang terus meleset dari target. Per Oktober 2017, setoran pajak yang masuk baru Rp 869,6 Triliun atau 67,7% dari target. Ada selisih Rp 369 Triliun yang harus dicapai dalam waktu hanya dua bulan. Stagnannya pertumbuhan ekonomi juga bisa dilihat dari lesunya output industri manufaktur. Lebih dari 14% tenaga kerja terserap di sektor industri manufaktur. Sementara porsi industri manufaktur terhadap PDB terus menurun dari 27% pada awal reformasi menjadi 19% di triwulan III 2017.

Begitu juga dengan data-data dari dunia perbankan. Pada tahun 2017 ini, Bank Indonesia sudah dua kali merevisi target pertumbuah kredit. Semula Bank Indonesia mentargetkan pertumbuhan kredit sebesar 12%, lalu direvisi pada bulan Agustus menjadi 8-10% dan terakhir direvisi kembali pada bulan November menjadi 7-9%. Kredit perbankan yang tidak tumbuh pesat mencerminkan kegiatan ekonomi yang melamban.

Data lain perbankan juga menunjukan hal yang sama. Hingga akhir oktober, jumlah kredit yang harus diatur ulang jadwal pembayarannya sudah mencapai Rp 267,6 Triliun. Sebagai perbandingan, pada akhir 2012 posisinya masih berkisah Rp 50 Triliun. Hal ini menunjukan berapa beratnya iklim usaha bagi banyak korporasi sehingga mereka kesulitan membayar hutang dan bunganya tepat waktu. Masalah bertambah berat ketika BI rate juga tidak menunjukan angka yang bersahabat bagi pengusaha dan penurunannya berjalan lambat.

Tinggalkan Balasan