Menikmati Anomali dari Dekonstruksi

HAI sobat Zetizen! Apakah kamu termasuk salah satu pecinta musik di muka bumi ini? Pasti jarang banget deh orang yang nggak suka sama musik. Nah, kali ini Zetizen di Bandung mau bahas about music nih guys. But, genre yang bakalan dibahas kali ini rata-rata belum banyak diketahui sama masyarakat luas. Memangnya genre musik apaan sih? Yuk mari simak guys!

Bicara soal musik, pasti kamu lebih familier dengan genre pop, jazz, hardcore, atau folk yang saat ini nge-hype bukan? Nah, biar wawasan kamu tentang musik nambah luas lagi, kamu wajib kenal sama satu genre ini, yakni shoegaze. Jenis musik ini terlahir sekitar pertengahan 1980. Dimasa itu, banyak musisi yang merasa jenuh dan akhirnya memilih untuk melakukan eksperimen besar-besaran terhadap musik alternative rock yang saat itu sedang mengalami stagnasi dan seragam.

Menggabungkan deru distorsi repetitif yang dibalut sound dengan kontur ambience ala post-rock, aliran musik itu pun menyihir banyak remaja Inggris kala itu. Sebut aja My Bloody Valentine. Band yang namanya melejit lewat album Loveless tersebut mampu menjadi ’’kitab suci’’ pencinta shoegaze hingga hari ini.

Kehadiran My Bloody Valentine juga nggak terlepas dari kegeniusan Kevin Shields, vokalis sekaligus gitaris My Bloody Valentine. Kevin mampu meracik distorsi dan noise dalam ambience samar nan depresif yang kemudian diterjemahkan dengan apik oleh Alan Moulder pada 1991.

Perlu kamu ketahui, nama shoegaze berasal dari sebuah kesalahan Andy Ross, owner Food Records. Dia kerap menghina band yang dinaunginya seperti Moose dan Lush. Dua band itu sering terlihat merunduk ke arah pedal efek saat bereksperimen di panggung dengan bebunyian. Berawal dari kebiasaan tersebut, tercetusnya istilah shoegaze. Sebab, shoe memiliki arti sepatu dan gaze adalah melihat.

Genre tersebut memiliki ciri musikalitas yang mengandalkan deru bising buah kolaborasi antara noise dan ambience. Ditambah beat drum yang lamban nan menenggelamkan. Semua perpaduan itu dilengkapi suara vocal yang dibiarkan tertinggal di belakang.

Dalam perjalanannya, genre tersebut sempat mati suri pada era pertengahan 90-an. Saat itu gelombang Britpop menguasai dunia musik yang dimotori nama-nama legendaris seperti Oasis dan Suede. Shoegaze pun meredup kala harus berjibaku dengan persaingan ketat yang melanda Britania Raya saat itu.

Tinggalkan Balasan