Eddie Hara Tetap Bergaya Muda, Naufal Ketemu Jalannya

Berada di Art Stage Singapore 2017, pengunjung bisa bertemu dengan banyak seniman. Bercerita tentang karya dan perjalanan hidup mereka. Wartawan Jawa Pos JANESTI PRIYANDINI sempat mewawancarai perupa senior Indonesia Eddie Hara serta pelukis muda Naufal Abshar.

SENIMAN kelahiran Salatiga, 10 November 1957, itu menjadi salah seorang pelopor seni kontemporer Indonesia. Meski tahun ini usianya menginjak 60 tahun, penampilannya masih terlihat funky. Celana panjang hitam, kemeja pantai, tato-tato cute menghiasi tangan kiri, piercing di telinga kiri, dan sepatu sneakers.

”Saya memang sudah tidak muda,” kata Eddie Hara ketika saya temui di arena Art Stage Singapore 2017, Marina Bay Sands Expo and Convention, Rabu (11/1). Kalau di Eropa ada istilah young people dan young at heart, Eddie mengaku masuk ke kategori young at heart. Usia boleh tua, tapi spirit harus tetap muda. Begitu katanya.

Alumnus ISI Jogjakarta itu sudah 20 tahun tinggal di Basel, Swiss. Meski begitu, sepuluh tahun terakhir, Eddie lebih berkonsentrasi pada seni rupa Asia, terutama Indonesia.

Karena itu, di Art Stage Singapore yang berlangsung 12-15 Januari lalu, lukisannya ikut dipamerkan melalui Nadi Gallery Jakarta dan Srisasanti Syndicate Gallery Jogjakarta. Di Nadi Gallery, salah satu lukisannya yang terpajang adalah Call 117. Destroy Bad Art. Lukisan akrilik di atas kanvas berukuran 150 x 200 cm tersebut merupakan karya teranyar berangka tahun 2017.

Goresan lukisan Eddie cenderung bergaya komik. Modern dan trendi. ”Di Jogjakarta dan di Indonesia, saya dibilang pelopor gaya lukisan seperti itu,” katanya.

Sekilas melihat lukisan itu, yang terpikir, pelukisnya adalah anak muda. ”Di Eropa, anak-anak muda yang melihat lukisan saya juga banyak yang mengira begitu. Begitu tahu, mereka bilang, ah ternyata kamu seumuran bapak saya,” lanjutnya, lalu tertawa.

Di dunia seni rupa, karya bergaya komikal, kartun, dan seni jalanan disebut lowbrow. Eddie mulai melukis dengan gaya seperti itu pada 1985-1986. Pada masa tersebut, gaya semacam itu belum bisa diterima. ”Zaman dulu, nggak ada yang mau beli lukisan saya,” ungkapnya.

Baru pada 1996 orang mulai memberikan apresiasi pada karya-karya semacam itu. Dan, Eddie termasuk pelopornya di genre tersebut. ”Mulai ada generasi baru,” katanya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan