Pekan Literasi Kebangsaan Giring Lebih Selektif Berteman

bandungekspres.co.id, COBLONG – Rendahnya minat baca di kalangan pemuda menjadi penggagas Pekan Literasi Kebangsaan (PLK) di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) selama satu minggu (1-7/12). Acara yang dibuka budayawan Sunda, Hawe Setiawan ini menjadi sangat bermakna karena mampu mengembalikan semangat literasi di kalangan pemuda.

Selain itu, aksi teatrikal dan perkuasi dari kelompok mahasiswa Bandung menjadi suguhan hari pertama kemarin (1/12). Sebanyak 14 komunitas literasi dan 20 penerbit dan toko buku alternatif pun ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Bukan hanya itu, para penggerak film dokumenter dari mahasiswa di Kota Bandung akan ikut menghibur pengunjung. Hawe Setiawan mengatakan, budaya literasi ini menjadikan masyarakat lebih selektif terhadap aksi-aksi pencemaran di dunia maya.

”Saat ini masyarakat sudah cerdas. Ketika di sosial media terdapat aksi saling menghina, minimalnya bisa meng-unfriend perteman,” ungkapnya.

Menurut dia, Gedung Indonesia Menggugat ini dibangun atas budaya literasi. Untuk itu, dia mengingatkan betapa pentingnya budaya literasi terutama bagi pada kalangan pemuda.

Menurut Ketua Pelaksana Pekan Literasi Furqon AMC, kegiatan tersebut merupakan inisiaasi sederhana dari masyarakat di Kota Bandung, terutama para pemuda. ”Mereka (pemuda, red) percaya bahwa demokrasi bukan sekedar urusan elektroral semata. Demokrasi perlu disamai dengan gagasan yang utuh dan kualitatif,” ucap Furqon.

Dia menyakini, gerakan literasi ini menjadi hal penting yang perlu dimajukan.

Diakui olehnya, daya baca di Indonesia dianggap masih minim. Di mana, 1 : 1.000 orang yang setiap tahunnya membaca. Artinya, dari 1.000 orang pemuda hanya satu orang yang membaca setiap tahunnya.

”Di Eropa, seorang mahasiswa setiap bulannya harus membaca tiga buku dengan bacaan di luar matakuliah,” ungkapnya.

Jika dikalkulasikan dalam setahun, lanjut dia, orang tersebut bisa membaca 36 buku. Buku-buku tersebut, di akhir tahun dipersentasikan kepada masing-masing dosen. Banyaknya buku yang dibaca, akan menumbuhkan daya nalar kritis bagi para pemuda.

”Kalau kita lihat kampus di Indonesia, nampaknya tidak ada kewajiban bagi mahasiswa untuk membaca buku lain di luar matakuliah,” jelasnya.

Selain itu, intimidasi kampus kepada mahasiswa agar cepat menyelesaikan perkuliahan. Dia membenarkan jika lulusan perguruan tinggi nantinya akan memiliki keterampilan. Akan tetapi, tidak memiliki nalar kritis. (nit/fik)

Tinggalkan Balasan