Perbaikan Drainase Bandung Dinilai Tidak Efektif, Pengamat Sebut Pembangunan di KBU Masih Terus Berlanjut 

Pengamat Sebut Perbaikan Drainase Bandung Dinilai Tidak Efektif Jika Pembangunan di KBU Terus Dilakukan 
Pekerja menyelesaikan proyek perbaikan drainase dan trotoar di ruas Jalan Gurame, Kota Bandung, Senin (1/12). Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres
0 Komentar

JABAR EKSPRES – Upaya Pemerintah Kota Bandung memperkuat sistem drainase melalui berbagai proyek rehabilitasi dan pembangunan baru dinilai belum mampu menekan risiko banjir yang terus berulang setiap musim hujan.

Hingga tahun 2025, Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) menargetkan rehabilitasi drainase sepanjang 14.657 meter, dengan realisasi 10.101,6 meter. Sementara pembangunan drainase baru sudah mencapai 1.606 meter dari target 3.928 meter.

Program ini juga diperkuat anggaran sebesar Rp34,53 miliar, dengan total jaringan drainase optimal yang tercatat sepanjang 282.349 meter.

Baca Juga:Bandung Kebanjiran Keluhan: Drainase Tak Kunjung Rampung, Pejabat Pemkot Malah Diperiksa Kasus Dugaan KorupsiDrainase Meluap Sebabkan Banjir di Sekitar Jalan Laswi, Warga Sebut Ini Selalu Terjadi saat Hujan Deras

Namun, pengamat lingkungan UPI, Suwandi menilai deretan angka tersebut belum mencerminkan solusi jangka panjang terhadap banjir kota. Ia menyebut bahwa kontribusi drainase hanya akan optimal jika kondisi ekologis Bandung dijaga, terutama sisi hulu yang kini mengalami tekanan pembangunan paling masif.

Menurutnya, persoalan banjir di Bandung tidak semata berakar pada saluran air yang tidak memadai, tetapi pada perubahan lanskap kawasan yang semakin kehilangan daya serap. Pembangunan besar di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang terus berlanjut dinilai menjadi salah satu pemicu utama berkurangnya kemampuan tanah menahan air hujan.

“Rehabilitasi drainase penting, tetapi tidak akan pernah cukup bila hulu rusak. Air dari KBU yang dulu terserap tanah, sekarang lari semuanya ke kota. Beban drainase di pusat kota menjadi berlipat,” ujarnya kepada Jabarekspres, Senin (1/12).

Ia menjelaskan bahwa drainase perkotaan tidak dirancang untuk menampung seluruh limpasan air dari wilayah hulu. Sistem drainase, dalam konsep tata air kota, hanya berfungsi sebagai pengalir, bukan penampung. Ketika curah hujan meningkat dan lahan resapan di KBU menyusut, kemampuan saluran air kota menjadi tidak sebanding dengan volume air yang datang.

Selain tekanan dari hulu, ia juga menyoroti masalah klasik yang masih membayangi sistem drainase Bandung, mulai dari sedimentasi tinggi, penumpukan sampah, hingga saluran lingkungan yang tidak terhubung baik ke saluran sekunder dan primer.

Hal ini diperburuk oleh pertumbuhan permukiman padat di kawasan-kawasan seperti Arcamanik, Antapani, dan Gedebage yang mengurangi ruang terbuka dan memperbesar limpasan.

“Banjir di Bandung bukan hanya urusan beton dan gorong-gorong, tetapi urusan ruang. Selama tata ruang tidak mengembalikan fungsi resapan, drainase kota akan selalu kalah cepat dari air,” katanya.

0 Komentar