Sekolah Rakyat dan Jalan Keluar Kemiskinan

SEKOLAH RAKYAT
Siswa melakukan tes kesehatan mata di Sekolah Rakyat Menengah Pertama, Sentra Paramita Mataram, Desa Bengkel, Lombok Barat, NTB, Senin (14/7/2025). Berdasarkan data Dinas Sosial Provinsi NTB, dua sekolah rakyat siap beroperasi tahun ini yaitu Sentra Paramita Mataram yang akan menampung sebanyak 100 siswa atau empat rombongan belajar (rombel) terdiri dari 50 laki-laki dan 50 perempuan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sekolah rakyat Eks Akper Selong Lombok Timur menampung sebanyak 125 siswa atau lima rombel, terdiri dari 65 laki-laki dan 60 perempuan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/rwa.)
0 Komentar

Fasilitas sementara, seperti di Sentra Paramita, Gunung Sari, Lenek, Sakra, hingga Sumbawa, sudah menunjukkan betapa besar minat masyarakat. Di Paramita, misalnya, 100 peserta didik dari keluarga miskin menempati asrama, memperoleh pembinaan akademik dan karakter, serta akses gizi harian.

Model ini memberi ruang bagi anak miskin untuk tumbuh, tanpa beban biaya, tanpa kekhawatiran perangkat sekolah, dan tanpa tekanan ekonomi yang sering membuat anak drop out.

Namun kebermanfaatan itu tidak datang tanpa tantangan. Banyak daerah menghadapi kendala lahan. Kota Mataram, misalnya, tidak memiliki kawasan seluas 6 hingga 10 hektare sebagai prasyarat pembangunan sekolah baru.

Baca Juga:Memutus Siklus Perundungan di SekolahMenangkal Perundungan Anak di Ruang Digital

Opsi menggabungkan sekolah eksisting ataupun memisahkan asrama dan ruang belajar juga tidak dapat diterima karena konsep Sekolah Rakyat menuntut tempat terpadu dalam satu kawasan. Ini menggambarkan tantangan perencanaan urban di wilayah yang padat dan terfragmentasi.

Beberapa kabupaten berada di jalur yang lebih siap. Lombok Barat mampu mengoperasikan Sekolah Rakyat rintisan, sambil menunggu fasilitas permanen di Kuripan.

Lombok Timur mengusulkan 152 calon siswa, berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional yang telah diverifikasi. Sementara Kabupaten Bima tidak hanya menyiapkan lahan 7,2 hektare, tetapi juga membentuk pokja dan tim teknis agar semua persyaratan terpenuhi secara cepat.

Di sisi lain, pembangunan fasilitas permanen di Gumantar, Lombok Utara, memberi tanda bahwa kebijakan ini memasuki tahap lebih mapan. Anggaran Rp250 miliar dialokasikan untuk membangun kawasan pendidikan terpadu dari SD hingga SMA, lengkap dengan asrama, lapangan olahraga, laboratorium, dan fasilitas umum lainnya.

Proyek multiyears ini menjadi pondasi kebijakan jangka panjang, sekaligus simbol keseriusan pemerintah dalam menghadirkan pendidikan inklusif.

Kendala berikutnya adalah ketersediaan tenaga pendidik. Beberapa daerah masih menunggu pemenuhan kebutuhan guru dan tenaga pendamping. Ini penting karena Sekolah Rakyat menuntut kombinasi kurikulum reguler, pembinaan karakter, dan vokasi, terutama pada jenjang SMA. Tanpa pengajar berkualitas, konsep pendidikan berasrama tidak akan optimal.

Sementara itu, kesiapan data siswa menjadi aspek yang tidak kalah penting. Data terpadu yang digunakan oleh kabupaten, termasuk pendataan berdasarkan nama dan alamat, memberikan kepastian bahwa program tepat sasaran.

0 Komentar