Putusan Restitusi Kasus Dokter Priguna, Tegaskan Posisi Korban sebagai Subjek Pemulihan

Putusan Restitusi Kasus Dokter Priguna, Tegaskan Posisi Korban sebagai Subjek Pemulihan
Terdakwa kasus kekerasan seksual di RSHS Bandung Priguna Anugerah Pratama saat menjalani sidang putusan di PN Bandung. Rabu (5/10) lalu. Foto. Sandi Nugraha/Jabar Ekspres
0 Komentar

JABAR EKSPRES – Putusan Pengadilan Negeri Bandung yang mengabulkan restitusi bagi korban kekerasan seksual oleh Dokter Priguna Anugrah Pratama, menjadi titik penting dalam penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Di persidangan yang sejak awal menyita perhatian, majelis hakim menetapkan kewajiban restitusi sebesar Rp137 juta berdasarkan penghitungan LPSK, meski pelaku dan korban sempat membuat perjanjian perdamaian dan uang kerahiman telah diberikan sebelumnya. Vonis 11 tahun penjara turut dijatuhkan kepada Priguna.

Keputusan itu dipandang LPSK sebagai langkah yang menempatkan pemulihan korban sebagai aspek utama dalam perkara kekerasan seksual. Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menyatakan apresiasinya atas langkah tersebut.

Baca Juga:PSSI Buka Suara Soal Timur Kapadze Latih Timnas Indonesia, Ternyata Belum Komunikasi?Mauro Zijlstra Jadi Tumpuan Baru Lini Depan Timnas U-22 di SEA Games 2025

“LPSK mengapresiasi majelis hakim yang telah mempertimbangkan hak-hak korban secara utuh, tidak hanya menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku, tetapi juga mengakomodasi pemulihan korban melalui restitusi,” ungkap Sri secara tertulis diterima Jabar Ekspres, Jumat (14/11).

Baginya, keputusan hakim menguatkan paradigma baru hukum pidana yang memberi ruang lebih besar bagi suara penyintas. Dia menegaskan kembali urgensi perspektif tersebut.

“Langkah hakim yang mengakomodasi restitusi mencerminkan keberpihakan pada korban sebagai subjek utama dalam proses keadilan,” ujarnya.

Pernyataan itu memperjelas sikap LPSK bahwa posisi korban bukan sekadar pelapor, melainkan pemilik hak pemulihan yang harus dihormati sistem peradilan.

Dalam perkara ini, LPSK menghitung nilai restitusi bagi tiga korban. FH memperoleh Rp79.429.000, NK menerima Rp49.810.000, dan FPA mendapat Rp8.640.000. Total keseluruhan mencapai Rp137.879.000.

Penilaian dilakukan melalui pemeriksaan kerugian ekonomi, dampak psikologis, hingga kebutuhan pemulihan yang muncul setelah tindak pidana terjadi.

Nurherwati menjelaskan bahwa restitusi tidak dimaksudkan sebagai pemberian finansial semata. “Restitusi harus dipahami sebagai bagian dari pemulihan psikologis dan sosial korban, bukan sekadar kompensasi finansial,” ujarnya.

Baca Juga:Joan Laporta Tegas Bantah Rumor Kembalinya Lionel Messi ke Barcelona pada 2026Tottenham Siap Tebus Takefusa Kubo Rp1 Triliun, Real Madrid Jadi Pihak yang Paling Untung

Karena itu, setiap komponennya dirumuskan secara rinci. Menurutnya, komponen restitusi itu meliputi empat hal. Pertama ganti kerugian atas kehilangan kekayaan. Kedua, ganti kerugian atas penderitaan korban. Ketiga, ganti biaya perawatan medis atau psikologis. Keempat, biaya lain seperti transportasi dan kebutuhan selama proses hukum.

Penilaian tersebut mengacu pada Pasal 30 UU TPKS dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022. Kerangka hukum ini menjadi dasar agar restitusi dihitung secara objektif dan dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan, sehingga pemulihan korban memiliki legitimasi hukum yang kuat.

0 Komentar