JABAR EKSPRES – Rentetan kasus keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Bandung Barat (KBB) memperlihatkan lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap kualitas pangan.
Pasalnya, dalam waktu dua bulan, lebih dari 2.000 orang menjadi korban keracunan MBG di empat kecamatan.
Kasus dugaan keracunan pertama kali terdeteksi pada 22 September 2025 di Kecamatan Cipongkor. Dua hari berselang, peristiwa serupa kembali terjadi di Cipongkor dan Cihampelas, menambah jumlah korban hingga 1.315 orang. Sebagian besar merupakan pelajar sekolah dasar dan menengah yang mengikuti program MBG di sekolah.
Baca Juga:Korban Keracunan Massal Program MBG di Lembang Bertambah Jadi 186 OrangBelum Usai, 19 Korban Keracunan MBG Masih Dirawat di RSUD Lembang
Insiden berikutnya terjadi di Kecamatan Cisarua pada 14 Oktober 2025, dengan 502 korban mengalami gejala mual, muntah, dan pusing setelah mengonsumsi menu MBG. Gelombang terbaru muncul di Kecamatan Lembang, tepatnya di SMP Negeri 1 Lembang pada 25 Oktober, di mana 30 siswa dilaporkan keracunan.
Tak lama berselang, 28 Oktober, kasus serupa kembali terjadi di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, dengan 186 korban yang terdiri dari siswa dan orang tua. Secara keseluruhan, jumlah korban dari empat kecamatan kini telah menembus lebih dari 2.000 orang.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) KBB, Lia N. Sukandar, mengatakan pihaknya telah memperkuat koordinasi dengan Badan Gizi Nasional (BGN) untuk meningkatkan pengawasan penyelenggaraan program MBG.
Ia menegaskan bahwa Dinkes berperan aktif dalam mendampingi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) agar memenuhi standar sanitasi yang ditetapkan.
“Dari kejadian pertama kami langsung berkoordinasi di bawah Satgas MBG yang diketuai oleh Pak Sekda. Tugas kami di Dinas Kesehatan adalah mempercepat penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk seluruh penyelenggara,” ujar Lia saat dikonfirmasi, Rabu (29/10/2025).
Menurut Lia, saat ini terdapat 121 SPPG yang menjadi pelaksana program MBG di Bandung Barat. Seluruhnya wajib menjalani proses monitoring dan evaluasi (monev) yang dilakukan secara berkala oleh Dinkes bersama lintas sektor, termasuk camat, kepala desa, dan puskesmas setempat.
“Kami mengadakan rapat koordinasi dengan SPPG untuk meninjau ulang pelaksanaan program. Dinkes bersama puskesmas membantu pendampingan teknis melalui Inspeksi Kesehatan Lingkungan (IKL) serta pelatihan penjamah makanan,” katanya.
