Namun dalam kenyataannya, kata Iskandar, DJSN justru mengusulkan nama-nama yang tidak sesuai kualifikasi. Bahkan seorang mantan Dirut BPJS yang disebut kabur sebelum masa tugasnya habis, diajukan sebagai calon anggota Pansel. Beberapa anggota aktif DJSN juga ikut diajukan menjadi calon anggota Pansel.
“Ini adalah pelanggaran etika, dan sesuai regulasi tugas DJSN tidak untuk menjadi anggota Pansel, kecuali anggota DJSN dari unsur pemerintah. Akan sangat tidak etis lagi, karena fungsi DJSN adalah mengawasi dan memutuskan siapa direksi BPJS,” tegas Iskandar.
Menurutnya, langkah DJSN ini menabrak prinsip objektivitas karena DJSN akan mengawasi direksi yang dipilihnya sendiri. Ini bertentangan dengan semangat pembagian peran yang diamanatkan oleh undang-undang. Ia juga menyoroti pengajuan pengamat dari serikat pekerja sebagai anggota Pansel, yang dinilai tidak memiliki dasar hukum.
Baca Juga:Power Girl Double D Raih Juara Pertama di Kejuaraan Cheerleader NasionalJ Trust Bank Perkuat Komitmen ‘Customer First’ melalui Layanan Optimal
“Regulasi tidak mengamanatkan wakil serikat pekerja menjadi anggota pansel, wakil serikat pekerja sudah diakomodir di Anggota Dewan Pengawas. Anggota pansel yang pengamat, sangat bertentangan dengan amanat Perpres 81 tahun 2015, dimana anggota pansel dari unsur masyarakat adalah AHLI, bukan sekedar pengamat. Apalagi di Perpres sudah ditetapkan ahli-ahli apa yang bisa menjadi anggota Pansel,” jelasnya.
Iskandar mengingatkan bahwa pelanggaran hukum dan etika dalam proses rekrutmen ini akan berdampak langsung terhadap mutu pelayanan kepada masyarakat. Ia menegaskan, jika fondasi hukum dilanggar dan etika diabaikan, maka pelayanan kesehatan rakyat akan kacau.
“Ini bukan sekadar salah prosedur, tapi pengkhianatan terhadap hak rakyat atas tata kelola bersih. Bila fondasi hukum dilanggar dan etika diabaikan, layanan di hilir pasti akan kacau,” tuturnya.
Lebih lanjut, Iskandar memaparkan sejumlah temuan IAW terkait kondisi keuangan dan operasional BPJS. Ia menyebut bahwa selama satu dekade terakhir, audit BPK menunjukkan bahwa BPJS merupakan proyek raksasa yang belum beres.
BPJS Kesehatan sempat mengalami defisit hingga Rp125 triliun pada 2019, yang ditekan menjadi Rp32,4 triliun pada 2023 dengan menaikkan iuran peserta. Data peserta pun amburadul, dengan jutaan NIK ganda atau tidak valid, yang menyebabkan kebocoran triliunan rupiah.
Beban APBN juga terus membengkak, di mana subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) mencapai Rp53,6 triliun pada 2024. Sementara pada 2023, klaim penyakit berat seperti jantung dan kanker menghabiskan Rp34,7 triliun, membuat arus kas BPJS Kesehatan dalam kondisi kritis.
