JABAR EKSPRES – Di tengah derasnya arus produk dan karya luar negeri yang masuk ke Indonesia, industri lokal adalah salah satu sektor yang paling penting untuk kita dukung. Produk seperti Indomie maupun karya seni seperti game DreadOut, film Nusa, Film Jumbo, atau bahkan mobil buatan Indonesia, adalah contoh hasil karya anak bangsa yang patut diapresiasi.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada produk lokal yang kualitasnya rendah, dengan mentalitas “anti kritik” dan cenderung overproud. Banyak karya dibuat secara asal-asalan, tetapi tetap menuntut dimaklumi hanya karena berlabel “karya anak bangsa” dengan dalih nasionalisme.
Industri lokal Indonesia memang tergolong lambat berkembang. Salah satu penyebabnya adalah minimnya inovasi dan keberanian menciptakan ide atau konsep baru yang belum ada di negara lain.
Baca Juga:5 Rekomendasi Mobil untuk Mahasiswa dan Pengemudi PemulaCara Membersihkan NIK KTP di SLIK OJK agar Bisa Mengakses Pinjol Kembali
Hal ini diperparah dengan berbagai persoalan seperti rendahnya kualitas SDM, tingkat literasi, dan tata kelola pemerintahan. Padahal, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, dengan potensi besar untuk menjadi pemain utama di kancah global, termasuk dalam industri lokalnya.
Sayangnya, produk lokal yang benar-benar layak diapresiasi masih dapat dihitung dengan jari. Indomie, misalnya, adalah contoh sukses mie instan murah dengan cita rasa unggul dibanding produk sejenis. Namun setelah pencapaian itu, inovasi besar lainnya jarang terlihat. Di sektor lain seperti gawai, otomotif, dan fesyen, mayoritas produk adalah impor. Kalaupun ada karya lokal, sering kali hanya hasil amati, tiru, modifikasi tanpa gebrakan baru.
Bahkan industri kreatif seperti perfilman dan gim di Indonesia baru mulai berkembang pesat belakangan ini, dan itu pun lebih karena peningkatan kualitas teknis, bukan inovasi konsep. Oleh sebab itu, meskipun industri lokal perlu terus kita dukung dan apresiasi, baik dari sudut pandang konsumen maupun produsen, mentalitas sebagian pelaku industri masih tergolong lemah, terutama dalam menerima kritik dan membangun kualitas.
Yang dimaksud “lemah” di sini adalah cara berpikir sebagian produsen dan konsumen di Indonesia yang cenderung pasif dan kurang berorientasi pada kemajuan.
