8 Bentuk Penyimpangan Umat Beragama di Indonesia yang Menjijikan

Penyimpangan Umat Beragama
Penyimpangan Umat Beragama
0 Komentar

Setiap kali skandal terjadi, semuanya ditutupi dengan istilah “kesalahan individu”. Padahal, jumlah “individu” itu tak terhitung banyaknya. Ini bukan lagi sekadar persoalan pribadi, ini menandakan bahwa sistem yang ada telah rusak.

Sistem ini secara sadar membiarkan masalah berlalu begitu saja, membiarkannya terus berulang, tanpa ada upaya nyata untuk menyelesaikannya hingga ke akar. Semua pihak sibuk menjaga citra suci, padahal isi sistem ini sudah busuk sampai ke dalam.

  1. Mengurusi Ranah Pribadi

Kini mari kita bicara mengenai organisasi massa. Tak sedikit dari mereka yang seolah memiliki hobi mengatur dan mengendalikan kehidupan orang lain. Secara fungsional, apa yang mereka lakukan kadang menyerupai tugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), mendisiplinkan orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan norma mereka sendiri.

Baca Juga:Gudang Garam Terancam Bangkrut, Ancaman Rokok Ilegal dan Vape Makin NyataAplikasi AMV Mengklaim Legal dan Punya Kantor Tapi Penghasil Uang Skema Ponzi

Tahun demi tahun, terutama setiap bulan Ramadan, kita melihat sejumlah organisasi massa melakukan razia atau mendatangi lapak-lapak kecil di berbagai daerah. Aksi mereka kerap memicu keributan di masyarakat. Mereka memaksa pedagang untuk menutup kios atau warung makan mereka, tidak hanya di daerah pinggiran, tapi juga di kota-kota besar. Alasannya, demi “menghormati orang yang berpuasa.”

Namun, apakah artinya orang yang tidak berpuasa tidak berhak makan atau mencari nafkah? Apakah hak hidup mereka boleh dilanggar demi kepentingan kesalehan seragam yang dipaksakan? Padahal, Indonesia adalah negara yang beragam, dan tidak semua orang menjalankan puasa karena alasan yang bermacam-macam, baik karena keyakinan, kondisi kesehatan, perjalanan, maupun karena mereka harus mencari nafkah demi menghidupi keluarga dan karyawan.

Inilah akibat dari kesetaraan yang dipaksakan dengan dalih menegakkan keadilan versi mereka sendiri. Yang lebih mengherankan, saat Natal tiba, mereka kembali memprotes pemasangan dekorasi dan ucapan selamat Natal di pusat perbelanjaan atau bahkan dari tetangga. Mereka marah terhadap benda mati, seolah-olah sedang kerasukan sepuluh jenis setan. Ironisnya, mereka menuntut agar keyakinan mereka dihormati, padahal mereka sendiri tidak menunjukkan sikap hormat terhadap keyakinan orang lain.

Fenomena ini menunjukkan bahwa ego yang dibalut agama adalah bentuk kesombongan yang paling menyedihkan. Ini bukan lagi tentang membela Tuhan, tapi membela ego pribadi yang ingin dipatuhi oleh semua orang atas dasar pemahaman yang arogan.

0 Komentar