JABAR EKSPRES – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan surat edaran tertanggal 19 Mei 2025 yang mengatur skema pembagian risiko atau copayment untuk produk asuransi kesehatan. Kebijakan ini akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026.
Dalam skema copayment, peserta asuransi diwajibkan membayar minimal 10% dari total klaim yang diajukan. Batas maksimal yang dibebankan kepada peserta adalah Rp300.000 untuk klaim rawat jalan, dan Rp3.000.000 untuk klaim rawat inap per pengajuan.
Contoh simulasinya, jika total tagihan rawat jalan adalah Rp500.000, maka copayment sebesar 10% x Rp500.000 = Rp50.000. Artinya, peserta akan membayar Rp50.000, sementara sisanya sebesar Rp450.000 akan ditanggung oleh pihak asuransi.
Baca Juga:7 HP Spek Dewa Termurah 2025 Performa Gahar, Harga BersahabatSisi Gelap Minuman Berenergi, Ternyata Menipu Banyak Konsumen
Selain itu, OJK juga mewajibkan adanya fitur Coordination of Benefit (COB) untuk mengatur pembagian tanggungan biaya antara perusahaan asuransi dan skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.
Skema Copayment Asuransi Kesehatan
Salah satu alasan OJK memberlakukan skema copayment adalah karena tingkat inflasi medis di Indonesia tercatat lebih tinggi dibandingkan inflasi umum. Inflasi medis terjadi ketika biaya layanan kesehatan meningkat akibat berbagai faktor, seperti kenaikan harga alat kesehatan, obat-obatan, serta tingginya biaya klaim asuransi.
Berdasarkan laporan Global Medical Trend Rates 2025 dari AON, inflasi medis secara global berada pada kisaran 1,5 hingga 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan inflasi umum. Laporan tersebut memperkirakan bahwa inflasi medis di Indonesia pada tahun 2025 mencapai 16,2% secara kotor dan 13,6% secara bersih.
Latar belakang diterbitkannya Surat Edaran OJK (SEOJK) ini adalah untuk mendorong efisiensi biaya kesehatan yang terus meningkat. Dengan inflasi medis yang lebih tinggi dibandingkan inflasi umum, efisiensi menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan pembiayaan.
Diharapkan, langkah ini dapat memitigasi dampak inflasi medis dalam jangka panjang, sehingga biaya kesehatan tetap dapat ditanggung secara kolektif, baik melalui skema penjaminan nasional (BPJS Kesehatan) maupun asuransi komersial.
OJK menyebut bahwa skema copayment juga bertujuan mengurangi overutilization, yaitu penggunaan layanan kesehatan secara berlebihan oleh peserta asuransi. Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat mendorong premi asuransi kesehatan yang lebih terjangkau (affordable).
Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia saat ini, hingga peserta harus ikut membayar sebagian biaya saat berobat?
