Namun, semua itu hanya tampak dari permukaan. Di balik layar, utang luar negeri semakin menumpuk, dan korupsi merajalela, menjadi bagian dari budaya kekuasaan.
Hingga akhirnya badai besar datang dari luar: Krisis Finansial Asia 1997–1998.
Bagi yang tidak mengalami langsung, krisis ini melanda hampir seluruh Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Thailand, bahkan Jepang. Namun, Indonesia adalah salah satu yang paling parah terdampak.
Nilai tukar rupiah “terlepas kendali.” Dari yang sebelumnya hanya Rp2.400 per 1 dolar, dalam waktu beberapa bulan saja langsung melejit menjadi Rp16.000 per 1 dolar. Bank-bank runtuh, perusahaan-perusahaan bangkrut, PHK terjadi di mana-mana, harga kebutuhan pokok melonjak tajam, dan masyarakat panik.
Baca Juga:Aplikasi Rinck Terbongkar Skema Ponzi Berkedok Investasi LegalKomunitas Galbay Pinjol yang Makin Marak di Indonesia, Ramai-Ramai Tidak Mau Bayar
Pemerintah hanya bisa menanggulangi dengan cara lama: menyuntik dana ke perbankan, mencetak uang baru (money printing), dan menaikkan suku bunga. Di tengah krisis itu, pemerintah menerbitkan pecahan uang baru: Rp100.000, yang pertama kali muncul pada tahun 1999.
Tujuannya adalah untuk memudahkan transaksi dalam jumlah besar tanpa perlu membawa uang segepok. Namun sebenarnya, kemunculan pecahan besar ini adalah tanda bahwa nilai uang kita semakin tidak berharga. Semakin besar nominal uang yang dicetak, semakin jelas bahwa inflasi tidak lagi terkendali.
Pecahan besar muncul bukan karena kita semakin kaya, tapi karena uang kita semakin kecil nilainya, tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sejak saat itu, angka nol di rupiah dikunci secara permanen. Pemerintah tidak pernah lagi berani memangkas nol, walaupun rencana redenominasi sempat beberapa kali muncul: tahun 2000, 2010, 2017, bahkan 2020 dan 2024. Namun semuanya gagal, karena masyarakat masih trauma dengan kata “redenominasi”, yang langsung diartikan sebagai pemotongan nilai uang secara diam-diam.
Rakyat merasa sudah terlalu sering tertipu oleh kebijakan moneter. Namun siapa yang tahu? Mungkin saat generasi tua telah tiada dan digantikan generasi muda yang tak lagi paham sejarah, protes akan mereda, dan kebijakan serupa bisa terulang kembali.
Tidak ada seorang pun yang ingin uangnya mendadak lenyap hanya karena “nolnya dipotong”. Seharusnya, jika memang nol dipangkas, harga-harga di pasar pun ikut dipangkas. Namun kenyataannya tidak pernah berjalan demikian. Harga barang justru terus naik, dan tidak ada satu pun angka nol yang dihapus sejak tahun 1965, meskipun jumlah nol di rupiah terus bertambah dari tahun ke tahun.
