“Kami menyayangkan sekaligus mengutuk sikap penolakan tersebut. Karena menurut kami ini belum ada kejelasan apa yang perlu ditolak. Apakah itu warga setempat apa bukan? Itu harus jadi perhitungan terhadap penolakan rumah ibadah,” kata Heri saat dihubungi Jabar Ekspres, pekan lalu.
Heri juga mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ia menilai negara tidak hadir dalam menyelesaikan konflik semacam ini.
“Negara seakan-akan lepas tangan. Ketika dialog, ia mungkin bakal menjamin kebebasan beribadah, tapi pada praktiknya penolakan justru terjadi. Intinya perlu ada konteks pemenuhan atau penghormatan dari negara terhadap hak peribadatan umat tersebut,” ujarnya.
Menurutnya, solusi yang bisa ditempuh adalah mengadakan dialog antara pihak gereja dan warga yang menolak. Namun, dialog ini harus mendapat dukungan dari negara agar kebebasan beribadah bisa terjamin.
Dalam kasus ini, gereja telah menyatakan bahwa mereka memiliki gedung tersebut sejak 1980-an dan sedang dalam proses pengurusan izin. Namun, warga menolak dengan alasan GSG adalah fasilitas sosial yang seharusnya bisa digunakan oleh semua warga, bukan hanya satu kelompok agama.
Heri menyoroti bahwa regulasi yang ada masih menyulitkan kelompok minoritas dalam menjalankan ibadah, termasuk dalam penggunaan bangunan untuk sarana ibadah.
“Kalau kita melihat segi peraturan, SKB 4 Menteri tentang rumah ibadah itu justru membuat barier administratif yang sangat banyak bagi kelompok minoritas,” katanya.
Meski demikian, hingga saat ini LBH Bandung belum menerima laporan langsung dari pihak terdampak terkait kasus di Arcamanik. “Kami baru mengetahui kemarin. Belum ada juga yang datang ke kami, baik itu secara jaringan maupun kelompok terdampak,” ujarnya.
Heri menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia, termasuk kebebasan beribadah. “Itu tertera jelas dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia,” pungkasnya.