Yosep menegaskan bahwa gereja telah berulang kali menjelaskan status kepemilikan gedung tersebut, tetapi tetap mendapatkan penolakan.
“Kami berkali-kali menjelaskan posisi kami, termasuk status tanah dan gedung ini, tapi mereka menolak. Kalau memang ada tuduhan, sebaiknya dibuktikan lewat jalur hukum,” katanya.
Ia juga berharap semua pihak bisa saling menghormati hak beribadah jemaat Katolik. “Kami umat beragama punya hak untuk beribadah. Tolong itu yang dijaga,” imbuhnya.
Di sisi lain, Anton, kuasa hukum warga yang menolak penggunaan gedung itu untuk ibadah, menyebut bahwa GSG adalah fasilitas sosial yang seharusnya bisa digunakan oleh semua warga, bukan hanya satu kelompok agama tertentu.
“Setiap Minggu warga tidak bisa menggunakan gedung ini. Kami sudah beberapa kali melayangkan somasi sejak 2024, tapi tidak ditanggapi,” kata Anton.
Ia juga menuding pihak gereja bersikap intoleran karena tidak merespons ajakan mediasi dari warga.
Menurut Anton, GSG yang awalnya dimiliki oleh pengembang PT Baleendah seharusnya menjadi aset fasilitas umum yang diserahkan ke pemerintah. Namun, kata dia, alih kepemilikan gedung ini kepada gereja tidak pernah jelas.
“Sejak tahun 1988, ini gedung serbaguna. Kami punya dokumennya. Kalau sekarang jadi tempat ibadah, GSG penggantinya mana? Harusnya fasos fasum diserahkan ke pemkot, tapi ini dibiarkan saja,” ujarnya.
Anton juga mengklaim ada dugaan pemalsuan tanda tangan dalam upaya gereja mendapatkan dukungan dari warga.
Dia mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan ada sanksi pidana bagi penggunaan ruang yang tidak sesuai peruntukannya.
BACA JUGA: Polemik Penolakan Warga Arcamanik Soal Ibadah Umat Katolik di Gedung Serbaguna
Sejauh ini, upaya penyelesaian masih menemui jalan buntu. Pemerintah daerah belum memberikan keputusan tegas, sementara warga yang menolak terus mendesak agar aktivitas ibadah di GSG dihentikan.
“Kami masih ingin berdialog dengan mereka, tapi mereka tidak membuka diri. Warga hanya ingin satu hal: hentikan ibadah di gedung ini,” kata Anton.
Di sisi lain, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Bandung, Heri Pramono, menyesalkan sekaligus mengecam penolakan terhadap ibadah umat Katolik di Gedung Serbaguna (GSG) Arcamanik. Menurutnya, belum ada kejelasan terkait dasar penolakan tersebut.