JABAR EKSPRES – Di tengah silang pendapat soal usulan wacana full day di dunia pendidikan di Kota Banjar, satu pertanyaan menggantung, apakah sistem itu sudah cocok diterapkan? Pro kontra mengemuka, memecah suara antara yang menginginkan efisiensi waktu belajar dan yang memiliki khawatirkan dampak sosial hingga kesehatan siswa.
Kiayi Muin Abdurrohim, salah satu pimpinan Pondok Pesantren Al Azhar Citangkolo, dengan nada tegas, ia menyatakan ketidaksetujuannya. “Di Banjar, full day school belum pas,” ujarnya, pada Selasa (18/2).
Menurutnya, sistem ini akan memangkas waktu bermain anak, menghambat perkembangan sosial, bahkan menggerus minat belajar agama karena pendidikan bukan hanya di kelas, tetapi juga di lingkungan dan rumah ibadah.
“Bayangkan, pulang sekolah jam 3 sore, lelah fisik dan mental. Kapan mereka konsentrasi mengaji atau berinteraksi dengan lingkungan?” tanyanya.
Kekhawatiran lain adalah potensi malam Sabtuan dan Mingguan yang rawan tindakan negatif saat anak tak terawasi. “Dua hari libur tanpa bimbingan bisa jadi petaka,” tambahnya, mengingatkan.
BACA JUGA: Program 3 Juta Rumah, Kota Banjar Tunggu Proses Verifikasi
dr. Sari W. Wiharso, seorang dokter sekaligus orang tua, mengaku kerap menerima keluhan siswa yang -drop- akibat full day school. Pengalaman pahit ia alami sendiri saat anaknya menjalani sistem serupa. “Pulang sekolah sudah lelah, masih dibebani PR dan tugas kelompok. Akhirnya, energi habis, kreativitas luntur,” curhatnya.
Sebagai Kepala Puskesmas, ia menegaskan, kekhawatiran bukan sekadar urusan lelah fisik. Stres akademik bisa memicu emosi tak stabil. Ia mendesak agar jika full day tetap diterapkan, sekolah harus menghapus tugas tambahan di akhir pekan. “Keluarga butuh waktu berkualitas. Jangan sampai sekolah merenggut itu,” tegasnya.
Namun, di balik kritik, ada harapan. Tatang, Kepala UPTD SDN 1 Bank Jabar Langensari, justru melihat full day school sebagai solusi. “Guru SD biasanya hanya mengajar sampai jam 12, padahal jam kerjanya sampai jam 2 sore. Dengan full day, waktu lebih optimal,” paparnya.
Ia yakin kekhawatiran soal bentrok dengan sekolah diniyah bisa diakali. “Sabtu bisa dialihkan untuk pendidikan agama. Yang penting, koordinasi antara sekolah formal dan nonformal diperkuat,” ujarnya.