Contoh kasus yang sering terjadi adalah brand menggunakan bahasa atau pendekatan yang tidak
relevan dengan target audiens mereka. Misalnya, sebuah brand minuman energi yang mencobamenjangkau generasi Z dengan menggunakan bahasa gaul yang sudah ketinggalan zaman justru dianggap “cringe” dan tidak relevan.
- Konten yang Tidak Otentik dan “Tone Deaf”
Keaslian dan kepekaan sosial menjadi semakin penting bagi konsumen modern. Survei Edelman Trust Barometer (2024) menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap brand menurun, salah satunya disebabkan oleh persepsi bahwa brand lebih mementingkan profit daripada nilai-nilai sosial.
Baca Juga:CSR Brand Bizarre dan Army Sukabumi Lakukan Aksi Peduli Korban Bencana LongsorUUS Danamon Raih Tiga Penghargaan Bergengsi di BPKH Banking Award 2024
Contohkasusnya adalah brand fashion yang mendapat kecaman karena menggunakan gambar model dengan penampilan yang dianggap mempromosikan standar kecantikan yang tidak realistis.
- Respons yang Lambat dan Tidak Efektif terhadap Krisis
Di era media sosial, krisis dapat menyebar dengan cepat dan luas. Penelitian dari Institute for Crisis Management menunjukkan bahwa perusahaan yang merespons krisis dengan cepat dan transparan memiliki peluang lebih besar untuk memulihkan reputasi mereka. Sayangnya, banyak brand yang gagal dalam hal ini.
Contohnya, sebuah brand makanan yang terlambat merespons keluhan konsumen mengenai produk yang terkontaminasi, mengakibatkan krisis kepercayaan yang berkepanjangan.
- Influencer Marketing yang Tidak Tepat
Meskipun influencer marketing dapat menjadi strategi yang efektif, pemilihan influencer yang tidak tepat dapat berakibat fatal. Nielsen melaporkan bahwa 92% konsumen lebih percaya pada rekomendasi dari individu yang mereka kenal, termasuk influencer, dibandingkan dengan iklan tradisional.
Namun, sebuah brand kosmetik yang bekerja sama dengan seorang influencer yang ternyata memiliki riwayat pernyataan kontroversial dapat terseret dalam kontroversi tersebut.
- Greenwashing
Semakin banyak konsumen yang peduli terhadap isu lingkungan, dan brand seringkali memanfaatkan sentimen ini.
Survei dari TerraChoice menemukan bahwa 95% produk yang mengklaim “ramah lingkungan” ternyata melakukan greenwashing. Contohnya, sebuah brand pakaian yang mengklaim menggunakan bahan organik, tetapi kemudian terungkap bahwa hanya sebagian kecil dari produk mereka yang benar-benar terbuat dari bahan organik.
Baca Juga:Pesta Explorasa Promina Hadirkan Aktivitas Seru untuk Dukung Perkembangan Si Kecil Melalui Eksplorasi Makanan!Cek Resep Bread Pudding ala Dairy Champ untuk Sambut Momen Spesial Nataru Lebih Nikmat dan Bermakna
Praktik greenwashing ini dapat merusak kepercayaan konsumen dan merugikan brand dalam jangka panjang.
Menangkan Hati Zillennials di Tahun 2025: Delapan Tren Komunikasi Brand yang Harus Dikuasai
