Aspek ekologi yang ada di kawasan hutan di wilayah Bandung Selatan seperti keberadaan floara dan Fauna tidak pernah diperhatikan sehingga jika alam sudah dirusak maka tinggal menunggu terjadinya bencana.
“Tanah di beton, plasma nuflah dan tumbuhan perdu hilang. Sekarang sudah dibangun tempat dan hunian yang membuat nyaman manusia,’’ ujar Dedi.
Para pengelola wisata sudah merusak mata air, embung alami, sumber air panas dengan mengekploitasi melalui rekayasa dan tidak memperhatikan kaidah konservasi.
Dedi mencontohkan, tempat wisata seperti Taman Wisata Alam Cimanggu yang hak kelolanya dipegang oleh PT BWL menyewakan kembali tempat dengan dibangun Wisata Green Forest dan memberikan hak kelola kepada CV Amanah dengan membangun Green Hill.
BACA JUGA: Destinasi Wisata Batu Karas dan Ciwidey Ditutup Sementara
Kawasan yang seharusnya menjadilahan konservasi tersebut kini sudah berubah menjadi tempat wisata, bahkan kawasan hutan lindung yang dikelola oleh Perhutani juga sama kondisinya.
‘’itu kan kawasan Wisata Ranca Upas, dulu tidak terlalu besar, sekarang meluas ke seluruh wilayah lindung, yang berdampingan dengan Kawasan Konservasi, semuanya sudah berubah,’’ ujarnya.
Untuk membangun kawasan wisata di wilayah Bandung Selatan, Pemerintah atau BUMN seperti Perhutani, PTPN menggandeng pengusaha yang memiliki modal.
‘’Mereka mengubah suasana alam menjadi kota wisata dengaan pengelolaan yang dilakukan oleh PT Palawi,’’ ucapnya.
Selain itu, Program Perhutanan Sosial melalui skema KHDPK (Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus) juga menyumbang dan memperparah kerusakan hutan yang ad di Jawa Barat.
Dengan dalih membangun kemitraan, program ini mengajak kelompok masyarakat untuk melakukan pengelolaan kawasan hutan.
Akan tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit dari mereka mendapat dukungan modal dari pengusaha seperti yang ada di kawasan wisata Hutan Pangkuan, Desa Alamendah dan Patengan.
‘’Dan lagi-lagi masyarakat sekitar kawasan hanya jadi penonton dan tetap miskin,” pungkas Dedi. (bas/yan)