Lingkungan juga tidak berubah, sehingga air mengalir dari hulu atau tempat yang lebih tinggi menuju dataran rendah atau cekungan sesuai kontur yang ada.
Walaupun muka bumi mengalami perubahan, hal tersebut disebabkan oleh bencana, seperti gunung meletus dan sebagainya.
“Sedangkan air itu melintas sesuai dengan jalur yang dilewati sejak ribuan tahun lalu. Tapi akhirnya ada lingkungan binaan, yaitu manusia, yang tinggal di situ, membangun rumah, dan sebagainya, sehingga aliran air alami ini, badan-badan air alami ini, mengecil, menyempit, terjadi sedimentasi,” jelas Hery.
Ditambah lagi, perubahan tata guna lahan di hulunya menyebabkan air banyak langsung masuk ke saluran tanpa sempat meresap di hulu, sehingga meningkatkan debit air.
Jadi, menurut Hery, gabungan antara cuaca ekstrem, debit air yang meningkat, badan air yang kapasitasnya terbatas, dan budaya masyarakat yang mungkin ikut berkontribusi, seperti perilaku buang sampah sembarangan menyebabkan badan air tidak bisa menampung debit air, terutama ketika masuk cuaca ekstrem.
Solusi jangka menengah dan panjang untuk mengatasi banjir, lanjut Hery, adalah normalisasi saluran, membuat embung, atau dengan upaya menata kembali sempadan sungai.
“Kalau untuk penataan sempadan sungai, membuat embung, atau kolam retensi, ya harus ada lahan yang dibebaskan,” tukas Hery. (YUD)