”Penyebab lainnya adalah perilaku instan. Dimana masih banyak diantara masyarakat Indonesia yang selalu ingin cepat kaya secara cepat. Ini juga menjadi stimulus penyebab maraknya investasi bodong,” kata Prof. Ilya.
Senior Advisor di RSM Indonesia itu menjelaskan, fintech telah menunjukkan adanya perubahan perilaku atau gaya hidup manusia masa kini. Terlebih di masa pandemi COVID-19, mempercepat proses percepatan transformasi digital di Indonedia.
Berdasarkan data Satgas Waspada Investasi (SWI) di tahun 2019 fintech ilegal mencapai 442 entitas, sementara di paruh pertama 2020 sebanyak 694 entitas. Per Juli 2020 tercatat 163 entitas investasi ilegal, 25 entitas ilegal dan 694 fintech illegal.
”Data sudah banyak menunjukkan Indonesia menjadi salah satu negara paling ekspansif dalam memanfaatkan dunia digital,” jelas dia.
Menurutnya, fenomena ini yang membuat tumbuhnya fintech di Indonesia. Seperti halnya dua mata uang, kata dia, setiap ada peluang baik maka selalu saja ada kesempatan orang untuk berbuat jahat.
”Ini sangat manusia. Disinilah harusnya masyarakat lebih berhati-hati ketika memasuki aktivitas digital. Jangan cepat tergiur oleh bujuk rayu yang menjanjikan untuk besar dan cepat,” cetusnya.
Lebi lanjut, ia menyebutkan, dari tahun ke tahun, peningkatan fintech terus berkembang pesat. Jenisnya bermacam-macam. ada Microfinance, P2P Lending, Crowdfunding, Market Comparism dan Digital Payment.
Disinggung mengenai pengawasan, Prof. Ilya menuturkan, OJK sebagai lembaga pengawas keuangan di Indonesia sudah membuat regulasi untuk mengatur pola kerja setiap perusahaan fintech. Serta dibantu dengan asosiasi dari jenis fintech yang menaungi perusahaan-perusahaan fintech yang ada.
“Rasanya edukasi mengenai pentingnya jenis ragam investasi digital perlu sering diamplifikasi oleh regulator dan perusahaan penyedia investasi digital. Sehingga publik dapat lebih waspada lagi dalam melakukan investasi,” tuturnya.