PPN 12 Persen: Antara Menjaga Kesehatan APBN dan Daya Beli Masyarakat

Sementara, bekerja di sektor informal berpotensi mengurangi kemampuan belanja. Pendapatan yang tidak stabil membuat konsumen menahan belanja karena mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar. Risikonya, penjualan barang sekunder bisa jadi terhambat.

Kondisi itu tercermin pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Porsi belanja kelas menengah untuk makanan meningkat pada 2024 dibandingkan 2019, sedangkan pengeluaran untuk hiburan dan kendaraan menurun. Padahal, kelas menengah merupakan salah satu penopang serapan PPN dari sektor-sektor sekunder itu.

Yang juga menjadi persoalan, jumlah kelas menengah mengalami penurunan hampir 10 juta orang pada periode waktu tersebut. Bila kondisi ini terus berlanjut, makin banyak orang yang bakal lebih mengutamakan pengeluaran makanan, yang berarti jual beli di sektor sekunder pun akan makin tertekan.

Tinjauan lain yang juga perlu menjadi perhatian yaitu dari sisi pelaku usaha. Seperti yang disorot oleh Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, penyesuaian tarif PPN bisa berdampak terhadap omzet pengusaha. Mereka mungkin akan meresponsnya dengan melakukan penyesuaian kapasitas produksi hingga penurunan jumlah tenaga kerja. Artinya, muncul risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Menjadi pengangguran berarti kehilangan pendapatan, yang berimbas pada kemampuan belanja melemah. Proses ini terjadi seperti sebuah siklus.
Evaluasi Kebijakan

Ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan Pemerintah terkait kebijakan PPN 12 persen. Merujuk pada studi yang dilakukan oleh Qibthiyyah (2018) berjudul “The Relationship of VAT Rate and Revenues in the Case of Informality”, ada hubungan berbentuk U-terbalik antara tarif PPN dan penerimaan pajak. Artinya, menaikkan tarif PPN hingga titik tertentu akan meningkatkan penerimaan, tetapi jika tarif terlalu tinggi, penerimaan justru menurun karena aktivitas ekonomi bisa terganggu. Ini sesuai dengan Teori Kurva Laffer.

Bila tujuan Pemerintah menaikkan tarif PPN adalah meningkatkan kinerja penerimaan, temuan studi itu bisa menjadi bahan pertimbangan.

Di sisi lain, studi itu juga menyoroti bahwa informalitas lapangan kerja menjadi tantangan Pemerintah dalam menyerap PPN. Pekerjaan informal umumnya melibatkan aktivitas ekonomi di luar sistem pajak formal sehingga transaksi tidak tercatat. Makin banyaknya aktivitas yang lolos dari PPN, maka kian sedikit penerimaan PPN yang bisa terserap.

Tinggalkan Balasan