Akan tetapi dia mencontohkan, aturan yang perlu dilengkapi di Indonesia sesuai kebijakan pemerintah misalkan ada 11 parameter, namun aturan yang dipegang dan diterapkan oleh buyer Eropa ada 60 parameter.
Oleh sebab itu, potensi penjualan produk tekstil untuk ekspor ke luar negeri khususnya ke Eropa, saat ini dinilai terancam menurun, karena buyer enggan memesan barang yang tak sesuai parameter mereka.
“Berdasarkan aturan pemerintah Indonesia (industri kelola sampah mandiri) tidak menyalahi aturan, tapi berdasarkan ketentuan buyer (khususnya Eropa) dinilai masih menyalahi aturan. Jadi tidak mau order,” paparnya.
Menurut Luddy, pemerintah perlu menyoroti persoalan pengelolaan sampah secara baik dan benar, alias bukan sekadar ditampung saja.
Selain untuk tujuan lingkungan, pengelolaan sampah yang baik dan benar harus disanggupi pemerintah, sebab jika diabaikan dapat merpengaruh terhadap perekonomian.
“Buyer tidak mau order karena meski industri sudah sesuai aturan Indonesia, tapi dinilai masih belum sesuai ketentuan buyer (Eropa), terus mau gimana kita dapatkan order?,” imbuhnya.
Luddy menuturkan, industri-industri di Indonesia sangat memerlukan dorongan dan bantuan pemerintah, guna dapat membuka potensi penjualan ekspor ke Eropa.
“Kalau kita gak dapat order, jangankan penambahan pekerja, yang ada kita pemangkasan pekerja,” tuturnya.
Luddy berharap, pemerintah dapat serius menangani persoalan sampah, agae tak sebatas ditampung tapi bisa dikelola secara baik dan benar.
Tujuannya, supaya industri pun dapat berkolaborasi melalui kerjasama pengelolaan sampah pabrik oleh pemerintah, agar membuka lebar potensi penjualan tekstil untuk ekspor ke buyer Eropa.
“Ini industri yang ada di Indonesia mau dibawa kemana? Mau dipertahankan atau dibiarkan bangkrut? Itulah yang sedang kami (Apindo) perjuangkan,” pungkasnya. (Bas)