JABAR EKSPRES – Persoalan sampah seakan menjadi pekerjaan rumah yang sulit diatasi, baik oleh pemerintah daerah maupun di tingkat pusat.
Pasalnya, dampak dari penumpukan tak hanya hantui kesehatan juga rusaknya lingkungan, tapi ancam juga perekonomian.
Mengenai hal itu, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Sumedang, Luddy Sutedja mengatakan, pengolahan sampah secara baik dan benar perlu jadi prioritas pemerintah.
“Di industri tekstil (salah satu contohnya) ketika ada buyer (pembeli/konseumen), itu tidak serta-merta transaksi jual-beli, tapi ada tahap audit oleh buyer,” katanya saat ditemui Jabar Ekspres belum lama ini.
Luddy menerangkan, audit yang dilakukan tersebut tak sebatas mengenai perizinan saja, melainkan juga terkait jumlah pekerja, proses produksi hingga sampah yang dihasilkan industri.
“Sekarang banyak buyer khususnya dari Eropa, yang ingin order produk tapi gak mau kalau di pabriknya mengelola sampah sendiri,” terangnya.
Luddy mengungkapkan, tak sedikit industri tekstil saat ini melakukan pengolahan sampah secara mandiri, alias tidak dibuang ke Tempat Penampungan Akhir (TPA).
“Bicara pengelolaan sampah itu kewajiban pemerintah, tapi pemerintah belum sanggup (tangani sampah industri), makanya industri mengelola masing-masing,” ungkapnya.
Luddy yang juga merupakan Manager Umum Bidang Humas dan Lingkungan PT Kahatex berujar, pihaknya pun mengelola sampah secara mandiri, dengan ritase mencapai sekira 20 ton per harinya.
“Selama ini Kahatex kelola sampah sendiri, kita diapresiasi oleh pemerintah daerah maupun pusat. Sampah plastik kita pilah jadi produk, karena kita kejar green industy,” ujarnya.
Menariknya, industri yang mampu mengelola sampah secara mandiri mempunyai nilai baik oleh pemerintah, karena dianggap membantu meringankan tugas dalam kepedulian lingkungan.
Akan tetapi ironisnya, pemerintah yang belum mampu menampung serta mengelola kuantiti sampah industri, berdampak terhadap pabrik-pabrik karena para buyer kini enggak memesan produk, apabila industri mengelola sampah secara mandiri.
“Kita sudah kelola sampah mandiri, tapi sekarang yang jadi persoalannya itu, dilarang oleh buyer. Jadi buyer enggak mau (order) kalau (industri) bakar sampah, gak boleh bakar sampah,” bebernya.
Luddy memaparkan, apabila melihat aturan di Indonesia, pihaknya sudah memenuhi persyaratan, baik terkait kepemilkan tanah, regulasi tata ruang, sertifikat layak fungsi mesin, administratif hingga izin penjualan dan syarat lainnya.