Fenomena Love Scammer, Modus Baru dalam Kasus Kekerasan Seksual di Kalangan Remaja

JABAR EKSPRES – Kasus kekerasan seksual di kalangan remaja kian berkembang dengan munculnya fenomena baru “love scammer”, yang memanfaatkan kerentanan emosional remaja.

Psikolog Klinis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Cimahi, Yukie Agustia, mengungkapkan love scammer adalah modus baru yang menyasar korban-korban, terutama remaja perempuan yang mengalami kekurangan perhatian dari ayahnya.

“Modusnya seperti ini, pelaku kejahatan mencari korban yang mudah dipengaruhi yang ‘bucin’ atau budak cinta,” jelas Yukie saat ditemui Jabar Ekspres di kantor P2TP2A, Senin (14/10/24).

BACA JUGA: Warkul Darangdan Buka Cabang di Bandung, Intip Menu Andalan dan Catat Lokasinya!

Ia menambahkan, remaja perempuan yang kurang mendapat perhatian dari sosok ayah cenderung menjadi target yang mudah dimanipulasi oleh pelaku yang memanfaatkan media sosial untuk merayu mereka.

Prosesnya dimulai dari media sosial, di mana pelaku merayu korban dengan iming-iming kasih sayang dan pujian palsu.

“Mereka diiming-imingi pujian, kasih sayang, hingga korban merasa dirinya sangat dihargai oleh pelaku dan akhirnya bersedia melakukan apa pun yang diminta,” jelas Yukie.

Fenomena ini menambah daftar modus yang digunakan dalam kasus kekerasan seksual, di mana pelaku menjadikan kerentanan emosional remaja sebagai celah untuk melancarkan aksinya.

Berdasarkan data yang diperoleh, dari Januari hingga September 2024 P2TP2A Kota Cimahi mencatat 45 laporan kasus kekerasan seksual.

Selain itu, Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) juga menangani tiga kasus yang belum sampai pada tahap korban.

Kepala DP3AP2KB Kota Cimahi, Fitriani Manan, menegaskan banyak kasus kekerasan seksual tidak terlaporkan, dengan perbandingan yang dilaporkan dan tidak terungkap bagaikan fenomena gunung es.

“Korban sering enggan melapor karena merasa itu aib keluarga,” katanya.

Fitriani menambahkan, pencegahan kekerasan seksual membutuhkan lingkungan yang kondusif, baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan sosial.

“Lingkungan yang mendukung dapat membantu anak-anak menghindari pengaruh negatif,” tambahnya.

Fitriani juga menekankan pentingnya peran lingkungan dalam sosialisasi dan pencegahan kekerasan seksual, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.

Menurutnya, meskipun keimanan individu menjadi faktor penting, pengawasan terhadap anak-anak tidak selalu bisa dilakukan sepanjang waktu.

Tinggalkan Balasan