JABAR ESKPRES – Ofie Laim, desainer fesyen asal Bandung yang dikenal dengan kecintaannya pada kain etnik, telah menempuh perjalanan panjang dan penuh liku dalam meraih kesuksesan. Sempat jatuh bangun dalam kariernya, kini ia berhasil membawa karya wastra Nusantara hingga ke kancah internasional, Jumat (27/9/24).
Wastra itu sendiri umumnya terbuat dari kain yang ditenun atau diberi motif khas, dan memiliki makna budaya serta simbolik. Beberapa contoh wastra tradisional Indonesia adalah batik, songket, ulos, dan kain tenun.
Lahir pada tahun 1976, kecintaan Ofie pada dunia mode sudah muncul sejak kecil. “Sejak kecil, saya sudah suka menggambar. Saya sering menggambar sketsa orang dan baju-baju mereka,” kenangnya.
BACA JUGA: Pilkada 2024, Polda Jabar Komitmen Jaga Situasi Aman Selama Tahapan Kampanye Berlangsung
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas, Ofie mengambil langkah besar dengan melanjutkan studi di sekolah desain fashion. Berbekal ilmu dari sekolah tersebut, ia segera terjun ke industri garmen setelah lulus, bekerja di tujuh perusahaan besar yang memproduksi berbagai jenis pakaian, seperti denim, kaos, dan seragam.
Namun, bekerja untuk orang lain bukanlah tujuan Ofie. Pada 2005, setelah cukup berpengalaman, ia memutuskan untuk membuka butik sendiri yaitu butik baju seragam, ia menerima pesanan mulai dari seragam kantor, bank dan rumah sakit.
Hingga pada 2007 Ofie menutup butik seragam tersebut dan memutuskan untuk lebih fokus mengeksplorasi kain etnik, yakni elemen yang kelak menjadi identitas kuat dalam setiap karyanya.
BACA JUGA: Silaturahmi ke Ketua MUI Kota Bandung, Arfi Rafnialdi Dinasihati untuk Berantas Bank Emok
Ofie memutuskan untuk membuka sebuah butik di daerah Dago, Bandung, pada 2016. Namun, penjualan di butik tersebut tidak sesuai harapan. “Toko offline di Dago hanya bertahan satu tahun karena ternyata penjualannya kalah dengan platform online,” ujarnya.
Meski sempat merasa kecewa, ia tidak menyerah. Dengan sigap, Ofie mengalihkan fokusnya ke penjualan daring. “Di butik, dalam tiga bulan hanya bisa menjual 2 baju, tapi di online, sehari bisa terjual 10 baju. Karena penjualan online laku keras, ya sudah, saya bertahan sampai sekarang di sana, butik di Dago ditutup” jelasnya.