Bahaya Kejahatan Kotak Kosong di Pilkada, Ini Kata Pengamat

JABAR EKSPRES – Sejumlah pakar dan pengamat politik membeberkan berbagai dampak negatif hadirnya kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Fenomena itu memang belum pasti, tapi benihnya mulai tumbuh untuk Pilkada pada November nanti.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Muradi menguraikan bahwa hadirnya kotak kosong termasuk kejahatan besar dalam demokrasi. “Itu memprihatinkan karena membatasi publik untuk bisa memilih calon kepala daerahnya,” jelasnya.

Muradi melanjutkan, dalam demokrasi yang ideal, partai politik (parpol) memiliki peran untuk kaderisasi calon kepala daerah potensial. Kader-kader itu yang kemudian ditawarkan ke publik untuk kemudian dipilih. “Bukan justru mengeliminasi kader potensial lewat skenario kotak kosong,” imbuhnya.

BACA JUGA:Racun Sianida jadi Temuan Baru Dalam Kasus 2 Kerangka Manusia di KBB

Muradi berpendapat, bahwa fenomena kotak kosong itu jika dibiarkan berkelanjutan akan berdampak negatif. “Paling parah adalah, publik tidak lagi percaya dengan parpol,” singgungnya.

Sementara itu, Pengamat Politik Unpad Firman Manan menambahkan, kotak kosong sebenarnya juga fenomena dalam politik. Itu beberapa kali terjadi di negara lain. Tapi konteksnya terjadi karena faktor petahana yang cukup kuat sehingga membuat kandidat lain mundur dalam pertarungan Pilkada.

Firman melanjutkan, sistem politik di Indonesia dibangun agar partai politik bisa memperoleh kekuasaan lewat pemilu. Caranya dengan kaderisasi dan menyodorkan kandiat didikannya dalam pilkada. Sehingga identitas kandidat itu bisa memiliki kedekatan terhadap partai politik pengusung.

BACA JUGA:Gelar Sosialisasi, Ketua KPU Kabupaten Bogor: Peran Media Sangat Penting di Pilkada 2024

Ketika parpol tidak mampu menghadirkan kader yang berkualitas, maka lama-kelamaan identitas parpol akan hilang. “Parpol akan hilang karena tidak punya kader yang terasosiasi kuat dengan partainya,” cetusnya.

Benih fenomena kotak kosong yang terjadi baru-baru ini di Jakarta maupun Jabar bukan soal petahana yang kuat. Tapi semacam skenario besar partai politik untuk menjegal kandidat potensial melalui persyaratan kursi partai pengusung. Satu pihak berupaya membangun koalisi gemuk sehingga menekan peluang gerbong lain untuk bisa membentuk koalisi dan mengusung kandidat dalam pilkada.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan