Dinilai Tak Dapat Berantas Mafia Tanah, Mahasiswa Tuntut Kepala BPN Kabupaten Bogor Dicopot

JABAR EKSPRES, BOGOR – Ratusan massa aksi yang tergabung dalam gerakan mahasiswa bersama suara rakyat (Gemasura) mendatangi kantor ATR/BPN, Kabupaten Bogor, Jumat (26/7).

Aksi ini dilatarbelakangi maraknya mafia tanah berujung persengketaan lahan yang terjadi di wilayah Kabupaten Bogor, yang menjadi momok menakutkan bagi siapa saja.

“Ini sebuah tuntutan untuk bagaimana melihat kondusivitas agar Kabupaten Bogor bebas dari mafia tanah,” ujar koordinator aksi, Zayyanul Iman kepada media.

Zayyanul menjelaskan, ada sebanyak 2.390 perkara yang ditangi Satreskrim Polres Bogor pada tahun 2022. 500 perkara di antaranya termasuk kasus sengketa kepemilikan tanah di Kabupaten Bogor.

BACA JUGA:Truk Pengangkut Pasir Jatuh ke Jurang di Nagreg, Sopir Tewas Ditempat

Setengah dari 500 kasus perkara sengketa kepimilikan tanah itu, diselesaikan secara restorative justice. Sisanya, perkara di Kabupaten Bogor sepanjang 2022 tersebut diselesaikan di meja persidangan.

Berdasarkan tipe 500 perkara sengketa kepemilikan tanah itu ada beberapa
diantaranya memasuki perkarangan rumah orang tanpa izin, menguasai lahan
milik orang lain dan sebagainya.

“Salah satu kasus adalah Bojong Koneng 34,1 hektar dimana ini ditertibkan 6 sertifkat BPN dan ini tidak diketahui oleh pihak desa,” katanya.

BACA JUGA:Kemarau Panjang Picu Potensi Kebakaran di Kota Bandung Meningkat

Dari hasil investigasi dan analisa para aliansi mahasiswa dan suara rakyat ini, lahan atau tanah di Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang itu milik KAS Desa.

“Sehingga ini ada dugaan BPN ada penyelewengan untuk bagaimana hak-hak masyarakat dirampas, kekeyaaan milik desa Bojong Koneng dirampas dan BPN terlibat dalam hal ini,” tegasnya.

Selain itu, mereka juga menilai BPN Kabupaten Bogor tidak bisa menyelesaikan persoalan tanah di Wilayah Kecamatan Gunung Putri.

BACA JUGA:Asisten 1 Pemda KBB Sebut Kabag Kesra Tak Tabrak Aturan, Pengamat: Ini Pelanggaran secara Terstruktur

Sengketa disana kata Zayyanul, sudah berjalan sekitar kurang lebih 40 tahun dan belum selesai hingga hari ini.

“Terdekat ini kemaren ada kasus di Gunung Putri sudah membabi buta hak masyakrat, secara penguasaan lahan milik masyarakat tetapi di rampas oleh salah satu perusahaan,” katanya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan