Merujuk UU Nomor 22 tahun 2009, tertera bahwa penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Memilih bentuk koperasi dianggap lebih tepat, sehingga sekumpulan kendaraan milik pribadi dapat diakomodir. Layanan angkutan umum tidak bisa berdiri sendiri,” imbuhnya.
Djoko mengucapkan, layanan yang ada harus didukung dengan edukasi, teladan, dan insentif-insentif untuk meningkatkan ridership.
“Kurang tepat kita hanya fokus pada satu sisi saja. Ada tiga faktor untuk edukasi angkutan umum, yaitu dukungan komunitas, komunikasi media dan endorsements pemerintah,” ucapnya.
BACA JUGA:Ketahuan Pungli, Guru SMPN 3 Lembang Kembalikan Uang ke Ortu Murid, Namun Ditolak
Djoko memaparkan, sangat rendahnya pelayanan angkutan umum perkotaan di tengah ketergantungan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi, berpotensi mengurangi jumlah angkutan umum yang beroperasi.
“Mengutip kata dari Sony Sulaksono Wibowo, agar jangan serahkan sepenuhnya masalah edukasi kepada pemerintah karena pasti tidak jalan. Peran serta masyarakat sadar jauh lebih penting,” paparnya.
Djoko mengungkapkan, banyak kota menanti kematian angkutan perkotaan secara bergiliran. Dimulai dari kota-kota kecil seperti Kota Kediri, Kota Tanjung Pandan sudah tidak memiliki layanan angkutan umum.
“Andai masih ada layanan angkutan umum, hanya dilayani armada angkutan yang tersisa. Usia armada rata-rata sudah di atas 10 tahun, bahkan ada yang di atas 15 tahun,” ungkapnya.
Sungguh miris, lanjut Djoko, melihat terjadinya pembiaran terhadap kondisi yang ada terkait perhatian terhadap angkutan umum.
“Tentunya akan mempercepat proses hilangnya pelayanan angkutan umum. Intervensi pemerintah sangat diperlukan untuk menghindari kegagalan pasar layanan angkutan perkotaan,” pungkasnya. (Bas)