Andai ini sunnah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melakukannya dan mencontohkannya kepada kita.
Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
“Berqurban itu disyari’atkan dari orang yang masih hidup. Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari Shahabatnya -sebatas yang saya ketahui- bahwasanya mereka berqurban untuk orang yang telah meninggal dengan niatan khusus. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa anak laki-laki dan perempuan, beberapa orang istri, dan kerabat dekat yang beliau cintai, yang meninggal dunia mendahului beliau. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkurban secara khusus atas nama salah satu diantara mereka.
Beliau tidak pernah berqurban atas nama pamannya Hamzah, atau atas nama istri beliau Khadijah atau istri beliau Zainab binti Khuzaimah, tidak pula untuk tiga putrinya dan anak-anaknya radhiallahu ‘anhum.
Andaikan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam bentuk perbuatan maupun ucapan.
“Dan hendaknya seseorang berqurban atas nama dirinya dan keluarganya. Adapun berqurban dengan mengkhususkan niat untuk orang yang telah meninggal, maka saya tidak mengetahui adanya dalil dari sunnah”. (Syarhul Mumti’ 7/423 -dengan sedikit diringkas dari ana-)
Namun, apabila sebelum wafatnya seseorang itu berwasiat agar disembelihkan hewan qurban atas namanya, maka si penerima wasiat wajib melaksanakan wasiat itu selagi dia mampu melakukannya.
Imam Nawawi rahimahullah yang pernah berkata: “Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk qurban tersebut”. (Mughnil Muhtaaj 3/92)
Itulah penjelasan lengkap dari Ustadz Berik Said hafidzhahullah tentang berkurban yang mengatasnamakan orang yang sudah meninggal.