العُمْرَةُ إِلىَ العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّة
“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa diantara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR Bukhari dan Muslim)
Lalu bagaimanakah kriteria haji mabrur? Berikut beberapa gambaran haji yang mabrur:
Pertama, ikhlas melaksanakan ibadah
Seorang yang berhaji harus berusaha menunjukkan keikhlasan dalam melaksanakan ibadahnya, tanpa dirusak oleh pikiran maupun kegiatan yang merusak keikhlasan.
Tanpa diniatkan dan dorongan keikhlasan yang kuat untuk beribadah haji, maka sangat mungkin akan melakukan kegiatan atau pemikiran yang bisa merusak kemabruran ibadah hajinya. Kerusakan ibadah haji bisa terjadi lantaran ibadah haji adalah ibadah fisik dan juga ada sebagian yang tidak logis. Oleh karena itu, keikhlasan dan ketebalan keimanan sangat dibutuhkan dalam menggapai kemabruran dalam ibadah haji.
Keikhlasan orang yang berhaji, sudah mulai ditunjukkan sejak sebelum keberangkatan untuk menuju ke Haramain. Mengingat banyak yang harus dipersiapkan dan membutuhkan kesabaran dan kerja keras dalam melakukannya.
Di sisi lain bahwa selama beribadah haji, terkadang mendapatkan ketidaknyamanan, emosi karena tindakan orang, terinjak atau kegiatan lain yang boleh jadi menjadikan seseorang bisa tersulut. Untuk itu keikhlasan dalam menjalankan ibadah haji sangat dibutuhkan agar lebih mudah secara rasional untuk mendapatkan haji mabrur. Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّـهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿٥﴾
“Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan.” (QS Al-Bayyinah: 5)
Kedua, menghindari maksiat dan dosa
Di dalam setiap diri manusia ada nafsu yang bercokol dan tidak bisa dihilangkan karena memang itu ketentuan dari Allah. Nafsu tidak bisa dihilangkan oleh setiap manusia, akan tetapi yang bisa dilakukan adalah mengontrol nafsu agar bisa diatur sesuai dengan kemauan pemiliknya.
Ketika melakukan ibadah haji, mengontrol nafsu, terutama nafsu lawwamah atau nafsu yang jelek menjadi sangat penting mengingat efek atau akibat tak mampu mengontrol nafsu bisa jadi tak sah atau rusak haji dan sangat mungkin tidak akan mendapatkan haji yang mabrur. Allah berfirman:
اَلۡحَجُّ اَشۡهُرٌ مَّعۡلُوۡمٰتٌ ۚ فَمَنۡ فَرَضَ فِيۡهِنَّ الۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوۡقَۙ وَلَا جِدَالَ فِى الۡحَجِّ ؕ وَمَا تَفۡعَلُوۡا مِنۡ خَيۡرٍ يَّعۡلَمۡهُ اللّٰهُ ؕ وَتَزَوَّدُوۡا فَاِنَّ خَيۡرَ الزَّادِ التَّقۡوٰى ۚ وَاتَّقُوۡنِ يٰٓاُولِى الۡاَلۡبَابِ
’’(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat! ” (QS Al-Baqarah: 197)