Kota Bandung sempat mendobrak dengan hadirnya mesin E-parkir di wilayah strategis guna mengantisipasi terjadi praktik parkir liar. Pengadaan ini berjalan di tahun 2013 pada masa kepemimpinan Wali Kota terdahulu yakni Ridwan Kamil.
Alih-alih berjalan sesuai rencana yakni menambah PAD lewat retribusi parkir dan mempersempit terjadinya parkir liar, pengaplikasiannya tak sesuai rencana.
Salah satu pekerja di Jalan Braga, Anindita (28) menuturkan, penggunaan e-parkir membuat dirinya harus merogoh kocek lebih dalam. Bukan harganya yang mahal, namun, terdapat tagihan yang harus diberikan juga kepada petugas parkir yang berjaga.
“Jadi sekarang lebih milih bayar langsung ke mang yang jaga parkirnya. Sempet nyoba pake mesin, cuman tetap ditagih juga,” katanya.
Permasalahan maupun penyelesaian terkait parkir liar bak penyakit kronis yang sulit diatasi. Carut marut dan bertabrakannya pengaplikasian regulasi di lapangan semakin memperumit mengatasi problematika ini.
Bahkan pada riset yang dilakukan oleh Akademisi prodi Administrasi Publik, Universitas Katolik Parahyangan, Tutik Rachmawati dan Kusuma Dwi. Sebanyak 73 persen masyarakat Kota Bandung percaya petugas parkir tidak melaksanakan tugasnya.
Dengan ini, sudah seharusnya Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung mengambil langkah tegas mengenai praktik parkir liar yang kini masih banyak terjadi di berbagai wilayah Kota Bandung.
Disisi lain, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pemilihan petugas parkir harus dilakukan. Hal ini agar terciptanya tujuan Pemkot Bandung dalam memberantas praktik parkir liar. (Dam)