Cimahi, yang dijuluki sebagai ‘Benteng Kepahlawanan’ di Jawa Barat, mencuat sebagai kota yang kokoh dan tangguh. Terletak di tengah-tengah tiga kecamatan, Cimahi dikelilingi oleh pusat-pusat kejayaan militer, menjadikannya pusat kebanggaan pendidikan ketentaraan di Indonesia.
Firman Satria, Jabar Ekspres
Bangunan-bangunan bersejarah menancapkan keberadaannya dengan gagah, tidak hanya menjadi saksi bisu waktu, melainkan sebagai pilar megah yang mempesona, seolah menjadikan setiap pengamat terhanyut dalam aliran masa lampau yang megah dan abadi.
Kawasan Tahanan Militer Poncol dan Megahnya Gedung The Historich masih memikat perhatian masyarakat, menjadi daya tarik unggulan Pemerintah dalam mempromosikan keindahan kota seluas 40,37 KM² ini, terutama di sektor pariwisata.
Meski demikian, tak terbantahkan bahwa sejumlah bangunan megah menyimpan sejuta kisah bersejarah yang belum diungkap. Salah satu contohnya adalah sebuah istana yang mempesona dengan arsitektur neo klasik Belanda, yang berdiri kokoh di Jalan Baros, Kota Cimahi, menjadi saksi bisu terhadap waktu namun sayangnya masih terlalu jarang tersorot dalam sorotan publik.
Sebuah istana gemerlap yang dipenuhi nuansa keindahan ala Barat terungkap sebagai properti yang megah, menjadi milik sahabat dekat Presiden RI pertama, Soekarno, yaitu Wongso Abuchaer.
Dengan usianya yang telah melampaui satu abad, cungkup istana ini dibangun oleh Mbah Wongso pada sekitar tahun 1918, menyajikan kemegahan yang mencengangkan dan diperkirakan rampung pada tahun 1921, menempati lahan luas sekitar 2.190 meter persegi.
Berdasarkan penuturan keluarga Mbah Wongso, Dewi Indraprasti dan suaminya Tiswara (78) mengatakan, rumah itu dibangun Mbah Wongso dari hasil keringatnya yang kala itu berprofesi sebagai seorang pedagang.
“Mbah Wongso memilih membangun rumah di Baros yang ketika itu masih berupa daerah pesawahan dan kebun kelapa yang sepi,” kata Dewi pada Jabar Ekspres, Rabu 24 Januari 2024.
Bersama seluruh anggota keluarganya, Dewi mengungkapkan bahwa ia telah dengan tekun merawat warisan dari seorang pedagang berkecukupan pada era penjajahan Belanda selama beberapa dekade.
“Bangun rumah di sini sekitar tahun 1918 dan selesai itu tahun 1921 pas mertua saya (S Kartono Abuchaer) lahir,” ujarnya sembari mengingat masa lalunya.