Masuk Jajaran 5 Besar Kota dengan Hunian Tidak Layak, Ini Jawaban Pemkot Bandung

JABAR EKSPRES – Rumah layak huni yang disiapkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung masih jauh dari harapan. Meskipun banyak upaya digencarkan, seperti penyediaan rumah deret dan rumah susun, masalah ini belum terselesaikan.

Hal tersebut diakui Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bandung Ema Sumarna. Kendati belum tuntas, menurutnya, progres yang diperlihatkan pihaknya hingga saat ini berkenaan ketersediaan rumah layak huni, dianggap berjalan baik.

“Kalau kita bicara tuntas semua. Ya, belum. Kan, hidup itu berproses. Tapi saya melihat progresnya baik,” ungkap Ema kepada Jabarekspres di Aula Pendopo, Bandung, Senin (23/10).

BACA JUGA: Rusun yang Ada Penuh, Antrean Mengular

Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat (Jabar), Kota Bandung berada di urutan kelima dari bawah menyoal persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian layak dan terjangkau se-kabupaten/kota.

Temuan data yang mencatat persentase angka hunian layak tersebut, dihitung sepanjang kurun waktu tahun 2020 hingga 2022, Kota Bandung memiliki angka persentase sebesar 36,75. Disusul dengan Cianjur (36,57), Bandung Barat (35,52), Kota Sukabumi (35,15), dan terakhir yaitu Garut (34,24).

Menjawab temuan itu, Ema mengungkapkan, sejumlah langkah sudah disiapkan Pemkot Bandung. Diantaranya pembangunan rumah deret, susun, dan hunian yang layak bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Kami tahun ini menyelesaikan yang rumah deret (Tamansari), (rumah susun) Rancacili. Lalu nanti kami pikirkan (hunian) yang di Jalan Jakarta, Paldam,” jawabnya.

Dia menambahkan, pihaknya pun melibatkan pemerintah pusat guna mengoptimalkan pembangunan hunian layak tersebut. Salah satu yang telah didirikan, yakni Rusun Sederhana Sewa (Rusunawa) Cingised.

BACA JUGA: Rumah Deret Tamansari yang Banyak Konflik dan Tak Kunjung Tuntas

“Kerjasama dengan pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR (pengerjaan, red) yang di Cisaranten Endah itu. Untuk (warga) yang berpenghasilan minimal di Rp4 juta sampai dengan Rp7 juta kalau tidak salah,” jelas Ema.

“Itupun artinya, untuk kelompok menengah ke bawah, itu sangat mudah untuk diakses. Persyaratan tidak terlalu rumit dan sulit. Orang-orang yang berpenghasilan standar UMK sudah bisa memiliki itu. Saya pikir cicilan bulanannya itu sangat terjangkau,” sambungnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan