BANDUNG – Calon legislatif DPR RI Dapil Jabar 1 (Koga Bandung dan Cimahi) dari Partai PDI Perjuangan Marcell Siahaan, baru saja meresmikan posko pemenangan di Jalan Sultan Agung No. 10, Selasa 17 Oktober 2023 sore. Posko milik artis sekaligus musisi kondang tersebut diberi nama Posko Semusim Marcell Siahaan.
Pembentukan posko tersebut kata Marcell Siahaan, sebagai bentuk rasa syukur atas masuknya dirinya ke dunia politik. Beberapa tokoh budaya Sunda, keluarga termasuk relawan Marcell hingga anak yatim ikut hadir dalam peresmian tersebut.
“Tentu ini bukan langkah mudah yang saya ambil melainkan langkah besar dan pastinya berdampak besar ke keluarga maupun teman-teman terdekat,” katanya.
Masuknya Marcell Siahaan ke dunia politik dan berada di dapil kelahirannya, yakni Kota Bandung, lanjutnya, semakin membuat tekadnya bulat untuk balik kampung alias balik ke Bandung.
“Ketika saya balik lagi ke Bandung setelah lama pergi, membuat diri saya melihat Bandung saat ini terlihat waas bukan was-was. Saya mendapat kesempatan untuk lebih dalam dan lebih dekat melihat Bandung sekaligus mengetahui apa yang dibutuhkan Bandung. Kesempatan inilah semacam dorongan kuat bagi saya. Jadi, insya Allah apa yang belum dilakukan maka akan saya lakukan,” katanya.
Marcell Siahaan pun sempat menjabat sebagai duta sosial Kota Bandung, sehingga membuatnya melihat kondisi masyarakat Bandung secara langsung. Permasalahan di Bandung, kata Marcell, ialah tak ada yang mau turun ke bawah untuk mendengarkan keluh kesah masyarakat, sehingga hal tersebut yang akan dia lakukan.
“Saya selama ini bekerja sebagai pelaku pertunjukkan alias artis dan mendapat kesempatan bertemu begitu banyak orang. Sejak kecil saya sudah tinggal di Bandung dan besar di sini. Jadi, saya pun ingin mengabdikan diri untuk kota ini,” katanya.
Menurut Marcell Siahaan, budaya di Bandung yang sudah hilang ialah budaya nongkrong atau duduk bareng yang ditinggalkan para pejabat publik. Padahal, katanya, budaya nongkrong ini sangat sakral untuk bisa berkomunikasi, saling mendukung, saling mendengarkan, dan mengagumi satu sama lain.
“Itulah budaya Bandung sebenarnya. Nongkrong itu bagian dari musyawarah dan mengamalkan sila keempat dari Pancasila. Tapi, saat ini kebanyakan hanya sebatas mendengarkan dan menyerap (aspirasi), setelah itu enggak ada lagi nongkrong untuk memastikan kembali aspirasi itu berjalan atau belum,” katanya.