JABAR EKSPRES – Istilah “fake buyer” sedang menjadi pembicaraan hangat di dunia media sosial TikTok. Bukan tanpa alasan, istilah ini merujuk kepada praktik palsu yang sedang marak di dunia bisnis online.
Apa sebenarnya yang di maksud dengan Istilah “Fake Buyer” dan mengapa hal ini begitu viral di TikTok? Mari kita telusuri lebih dalam.
Dalam dunia bisnis online, istilah “fake buyer” merujuk kepada orang-orang yang berperan sebagai pembeli palsu. Praktik ini mulai mencuat setelah TikTok Shop resmi di tutup pada tanggal 4 Oktober 2023.
Tujuan dari praktik ini sangat sederhana, yaitu untuk mendongkrak reputasi dan penjualan suatu toko online. Bagaimana caranya? Mereka membayar orang-orang untuk berpura-pura menjadi pembeli, melakukan transaksi palsu di toko-toko online tertentu.
Baca juga : Dibalik Istilah “Wang Pak Tan” yang Viral di Sosial Media, Apa Sebenarnya Arti dan Maknanya?
Para fake buyer ini kemudian memberikan ulasan atau testimoni palsu yang menguntungkan toko yang bersangkutan.
Pada tanggal 7 Oktober 2023, seorang pengguna TikTok dengan nama @andreayudias membagikan kisah mengenai praktik jasa fake buyer. Dalam videonya, ia menceritakan bagaimana temannya berhasil menghasilkan uang dalam jumlah fantastis dalam waktu singkat.
Temannya ini bergabung dalam sebuah grup freelance yang fokus pada aplikasi obrolan. Di dalam grup tersebut, orang-orang di bayar untuk berperan sebagai fake buyer saat sesi live di platform jual beli. Mereka di bayar dengan jumlah yang kecil, sekitar Rp5.000 rupiah untuk setiap transaksi CO (Check Out).
Dengan melakukan CO pada 10 akun berbeda dalam sehari, temannya bisa menghasilkan Rp50.000 rupiah dalam sehari, atau sekitar 1.500.000 rupiah dalam sebulan. Pembayaran kepada fake buyer di lakukan melalui sistem COD (Cash on Delivery).
Namun, praktik jasa fake buyer ini tidak hanya merugikan calon pembeli yang sebenarnya. Meskipun mungkin bisa meningkatkan reputasi dan popularitas suatu toko dalam waktu singkat, hal ini justru membingungkan dan menyesatkan calon pembeli yang sebenarnya.
Calon pembeli yang melihat rating dan testimoni palsu mungkin akan tertipu dan membuat keputusan pembelian berdasarkan informasi yang tidak akurat. Selain itu, jasa fake buyer juga merugikan kompetitor yang menjalankan bisnis dengan jujur dan transparan.